Bila engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka Menulislah. [Imam Al Ghazali]
Home » , » Kasus Pantai dan Laut Berujung Demo di Kantor BPN Karimun

Kasus Pantai dan Laut Berujung Demo di Kantor BPN Karimun

PMII dan masyarakat nelayan mendengarkan surat pernyataan dari Kepala BPN Karimun

Berawal dari putusan sita eksekusi terhadap tanah di atas bibir pantai dan laut seluas 100 meter oleh Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun, yang sebelumnya diajukan oleh Rinto pemilik Perumahan LBP Batu Lipai kini berbuntut panjang.

Sempat terjadi perdebatan panjang antar petugas dengan kalangan nelayan sebelum eksekusi dilakukan pukul 16.30 WIB, Jumat (17/11), di pesisir Kuda Laut, Baran, Kecamatan Meral, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau.

Para nelayan mempertanyakan tentang putusan sita eksekusi tanpa melakukan pengukuran dan pencocokan bidang tanah dan batas-batas yang ingin disita terlebih dahulu dan juga mempertanyakan masalah sertifikat hak milik kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Karimun.

Edwar Kelvin Rambe, kuasa hukum oleh para nelayan menilai masalah ini ada kejanggalan. Dimana keanehan ini dimulai pada saat proses sita eksekusi, lebih dari 100 meter laut Karimun masuk dalam wilayah sita eksekusi.

Ia menambahkan, nelayan lokal yang telah mendirikan rumah di atas laut sejak puluhan tahun lalu lebih dari 60 kepala keluarga, sedangkan yang berada di bibir pantai tersebut lebih banyak lagi.

"Ada juga yang udah digusur (pemilik) dan hanya diganti rugi Rp5 juta," katanya

Atas eksekusi yang dilakukan pihak pengadilan, Kevin akan mengajukan perlawanan dan melaporkan penetapan sita eksekusi ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan terhadap Sertifikat Hak Milik yang dikeluarkan di atas laut, Ia juga akan menyurati Kanwil BPN Provinsi serta Kementrian Agraria dan tata ruang serta DPRD Karimun

Sementara itu pemerintah Kab. Karimun dalam hal ini Bupati Karimun ketika ditanyai persoalan tersebut mengatakan hanya mis komunikasi saja, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Karimun telah turun ke lapangan dan mendampingi pihak kementerian, dan telah memberi laporan ke pemerintah.

Lanjutnya lagi, pemerintah hanya menunggu keputusan pengadilan, tugas pemerintah dalam perkara ini sebagai mediator, apabila tidak tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.

A. Rafiq mengaku bahwa saat ini sudah berproses hukum, sehingga pemerintah daerah tidak boleh memberikan suatu opini atau pendapat. Kemudian beliau mengimbau penerbitan terhadap status tanah mengikuti aturan yang berlaku saat ini. Apalagi memang sudah ada regulasi putusan di pemerintah daerah seperti Surat Keputusan (SK) Bupati atau Peraturan Bupati (Perbup) yang sudah dikeluarkan beberapa tahun lalu mengenai tanah pantai.

“Sekarang kita ikuti aturan yang berlaku, apalagi sudah ada keputusan Bupati yang dikeluarkan beberapa tahun lalu, untuk persoalan tanah pantai sangat selektif dalam pemberian hak statusnya dalam penerbitan sprindik,” ucap Aunur Rafiq.

Kemudian pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Viralnya pemberitaan ini, membuat tim audit dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Kementrian Kelautan Republik Indonesia (RI) melakukan audit.

Tim pelaksana audit yang turun ke lokasi, didampingi Kepala Perangkat Satuan Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Karimun, Zaki dan disaksikan Kuasa Hukum Nelayan, Edwar Kevin Rambe SH, Ketua Nelayan KUB Baran Sejahtera Kecamatan Meral, Azis, Ketua RT setempat, Arifin dan Kepolisian setempat itu, untuk menelusuri dan melakukan survey serta pengumpulan data, sekaligus pengukuran titik koordinat laut dan pemetaan dengan menggunakan Drone selama dua hari, yaitu, Jumat (24/11/2017) dan Sabtu (25/11/2017).


Mahasiswa bersama nelayan unjuk rasa di kantor BPN Karimun.

Isu panas yang mengemuka di Kab. Karimun menyuri perhatian seluruh elemen di Kab. Karimun, termasuk mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Kab. Karimun. Organisasi kemahasiswaan yang berpusat di jakarta ini memastikan diri untuk mengadvokasi masyarakat nelayan Baran dalam memperjuangkan hak mereka.

Hal ini dibuktikan dengan menggelar aksi unjuk rasa di kantor BPN Karimun, Senin (4/12). Dalam aksi tersebut salah satu orasi dari PMII menjelaskan bahwa, menurut Kepres nomor 32 tahun 1990 pasal 14 dan peraturan Presiden RI nomor 51 tahun 2016 mengatur 100 meter dari bibir pantai tidak bisa dijadikan hak milik apalagi laut. Karena bibir pantai dan laut dikuasai negara.

Ditambahnya lagi, karena laut jelas aset negara dari berbagai pengakuan produk hukum indonesia maka pantas sekali sebagai warga negara kita wajib menjaga dan melindungi aset bangsa dengan membela. Sesuai perintah pada pasal 27 ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam upaya pembelaan negara.

Di ketahui, salah satu pengusaha di Karimun (AK) di klaim telah memiliki bibir pantai yang luasnya hingga 4 hektar dan terakhir telah dijualkan kepada Rinto, pemilik perumahan LBP Batu Lipai, Tanjung Balai Karimun.

Para nelayan semakin kecewa dengan putusan tersebut, banyak warga mempertanyakan legalitas terbitnya sertifikat atas nama Rinto yang dapat memiliki laut untuk atas nama pribadi.

Data Fakta.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Sertifikat hak milik dengan Nomor registrasi Nomor 00052 atas nama Rudi salah satu dasar Damianus Alis Lie Bun Kui Alias Akui mengeluarkan surat pengosongan lahan dengan Nomor 01/X/2016 pertanggal 17 Oktober 2016 yang lalu.

Surat pengosongan lahan ini ditujukan kepada Jamal, Iwan, A Gafar dan beberapa nelayan yang masih menempati lahan seluas 19.972 M2 di Baran I kuda Laut RT/RW 01/03 Kelurahan Baran Timur, Kecamatan Meral. Nelayan yang sudah turun temurun tinggal di pantai itu melakukan perlawan sampai berujung ke sidang perdata dengan Nomor Registrasi 18/Pdt/2017/PN Tbk. Diduga, sebelum terbitnya sertifikat, ada transaksi jual beli di atas tanah yang nyatanya pantai dan laut itu.

Mengacu kepada Kepres No. 32 Tahun 1990 pasal 14 dan Peraturan Presiden RI Nomor 51 tahun 2016, ini tanah dikuasai Negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum bukan pribadi. Pantai adalah daerah pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan, sedangkan Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Pengaturan mengenai pemanfaatan wilayah dan pulau-pulau kecil di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terakhir telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 serta tidak terlepas pula dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), yakni hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu 

0 komentar: