Benarkah di dunia ini tidak ada yang sempurna?
Ternyata ada, misalnya kalimat. “Saya pergi” adalah contoh kalimat sempurna.
“Saya” sebagai subyek, sementara “pergi” sebagai predikat. Begitu sederhana,
tapi justru kesederhanan itulah yang menjadikannya sempurna.
Dalam teori jurnalistik, selalu dikatakan bahwa
berita, agar “sempurna”, harus memenuhi unsur dasar 5W (who,what,when, where,why) dan 1H (how). Tapi penekanannya bisa berbeda-beda. Jika peristiwa yang
hendak ditonjolkan, unsur what didahulukan. Bila pelaku, korban, atau saksi
yang lebih penting, unsur who yang
ditonjolkan. Unsur when dan where digunakan sebagai pelengkap.
Sedangkan why dan how dipakai sebagai penjelasan.
Begitu pula kalimat. Kalimat sempurna
sekurang-kurangnya harus memiliki subyek (who)
dan predikat (what). Kalimat “Saya
pergi” yang sempurna itu bisa diberi pelengkap (when dan where): “Beniat
menemui seseorang, kemarin saya pergi ke Bogor menumpang mobil teman”.
Kaimat sempurna sangat berpotensi menjadi kalimat
efektif, yakni kalimat yang dapat menyampaikan imformasi atau gagasan
penulisnya secara tepat kepada pembaca. Kalimat efektif selalu berupa kalimat
yang singkat, padat, jelas, lengkap dan cermat. Jika syarat itu tak terpenuhi,
kalimat akan tergelincir menjadi tidak efektif.
Salah satu
penyebab kalimat tidak efektif adalah pemakaian kata mubazir, yaitu kata yang
bila dihilangkan tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi. Sifatnya yang
berlebihan bahkan menghasilkan kalimat rancu atau kacau.
Di media masaa, kerap saya dapati kalimat rancu
semacam ini: “Dalam sebuah kemelut di sisi kanan gawang Barcelona, membuahkan
tendangan pojok”. Kaimat ini kacau karena kehilangan subyek. Jika “dalam” di
awal kalimat di buang. Kerancuan hilang dan kalimat itu menjadi efektif:
“Sebuah kemelut di sisi kanan gawang Barcelona membuahkan tendangan pojok”.
Harus diakui, kelewahan kata bertebaran di media
massa. Ironisnya, di satu sisi, media gemar menggunakan singkatan (terutama
akronim). Tapi di sisi lain sering memakai kata secara berlebihan. Contoh, “Kadin meminta kepada pemerintah agar lebih serius dalam menjalankan paket kebijakan tersebut.
Silahkan buang kata-kata yang tercetak miring dalam
tiga kalimat tersebut. Maka akan kita dapatkan kalimat efektif.
Ada lagi kalimat “Dua kubu pendukung saling
berhadapan” dan “Masyarakat seolah-olah terbelah menjadi dua kubu yang saling
berseberangan”. Imbuhan “ber-an” antara lain berfungsi menyatakan makna saling
atau perbuatan timbal balik. Jadi kata “saling” sama sekali tidak dibutuhkan dalam
kedua kalimat tersebut.
“Mantan” atau “bekas” juga merupakan kata yang
sering dipakai padahal tak diperlukan. Kalimat “Jokowi mengaku siap
berkomunikasi dengan mantan presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri”
dapat di jadikan contoh, sehingga kata “mantan” tak dibutuhkan. Kata “bekas”
dalam “Bambang Pamungkas, bekas pemain timnas Indonesia tahun 1998-2014 mengunjungi
Kabupaten Karimun” juga contoh kata lewah karena sampai kapan pun Bambang
Pamungkas adalah pemain tim nasional indonesia tahun 1998-2014.
Ada kalimat yang jika dibaca sekilas, seolah-olah
tanpa masalah, seperti “Meski mengukir sukses fantastis, SMK negeri 1 Karimun
tak mau berhenti sampai di sini”. Kalau kita perhatikan, ada kejanggalan di
situ. Bisakah sesuatu “berhenti sampai di sini”? Tentu tidak. Bentuk yang
ringkas dan tanpa masalah adalah “berhenti di sini”.
“Ia mulai berkuasa sejak 1981” juga seperti tanpa
persoalan. Padahal, bila “mulai” yang lewah itu di buang, tampillah kalimat
efektif: “Ia berkuasa sejak 1981”.
Sebagian orang berpendapat, dalam menulis, yang
penting adalah pesan yang kita tulis sampai kepada pembaca. Kata lewah pun
bukan masalah jika pembaca memahami tulisan kita. Maka seorang teman menulis
begini. “Karena saya gila, sehingga menjadikan saya mudah tertawa”. Mungkin
kalimat itu dapat dipahami, tapi akan jauh lebih mudah dimengerti bila
kata-kata lewahnya dibuang: “Saya gila sehingga mudah tertawa”.
Arswendo Atmowiloto, penulis banyak buku. Yang saya
temukan di majalah tempo pada perpustakaan daerah Kabupaten Karimun. Mengatakan
bahwa tanpa melewa, penulis itu gampang. Uu Suhardi seorang penulis majalah tempo
di rubrik bahasa yang mengangkat judul “Lewah” berani mengatakan, bagi penutur aslinya,
bahasa Indonesia sebenarnya persoalan gampang, tapi kerap digampang-gampangkan
sehingga menjadi masalah yang rumit.
0 komentar:
Posting Komentar