Bila engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka Menulislah. [Imam Al Ghazali]
Home » » Aktivis Berlatar "Lapar Data"

Aktivis Berlatar "Lapar Data"



Tampaknya, ke depan pembobolan dan pencurian data publik atau yang dianggap sebagai data publik dari institusi publik/swasta untuk pengungkapan kasus dugaan korupsi dan kejahatan finansial lainnya mungkin akan marak. Pasalnya beragam. Di telaah dari produk hukumnya saja masih setengah telanjang niat ingin melihat isi dalam institusi tersebut. Seharusnya dari betis hingga kepala bisa kita nikmati apa yang telah dikerjakan ASN kita.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) contohnya. Walau sudah selektif harus di akui masih banyak celah para aktivis untuk menerobos pintu awal dari keterbukaan informasi dan keuangan negara kita ini. Satu diantaranya karena masih banyak badan publik masih terlihat kesulitan dalam menerapkan keterbukaan. Padahal bisa dikatakan modalitasnya cukup. Mulai dari pembentukan Komisi Informasi, pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, hingga aturan teknis terkait KIP.

Bukan maen-maen untuk membentuk UU ini. Sebab legalitas tersebut berangkat dari kolaborasi antara Indonesia bersama Amerika Serikat dan enam negara lainnya yang tergabung dalam Komite Pengarah Open Government Partnership, merupakan kerjasama global dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih terbuka.

Ragam masalah itu pun berlanjut, pertama pembangkangan institusi publik terhadap keputusan pengadilan untuk membuka data yang diminta pemohon. Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, misalnya. Membangkang, tidak menuruti putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Forest Watch Indonesia (FWI) untuk mendapatkan data hak guna usaha.
Sumber : Abaikan Putusan MA Kementerian Agraria Belum Buka Data HGU Sawit

FWI merupakan organisasi jaringan pemantau hutan yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. FWI yakin bahwa cita-cita ini hanya akan terwujud apabila ada transparansi pada semua data yang terkait dengan sumberdaya hutan. Kalau begitu apa bedanya dengan organisasi, LSM yang memiliki visi yang sama. Yakni terciptanya kondisi birokrasi yang bersih, transparan dan jauh dari KKN.

Sehingga banyak dari pemain-pemain dari kelompok tersebut enggan meninggalkan kebiasaan lama yang dianggap hero, sebab sebagai pahlawan yang telah mengungkap sebuah skandal korupsi ataupun malpraktik. Melebihi hasrat untuk pembenaran atas kesalahan suatu institusi alih-alih mendorong prevalensi orang yang "Lapar Data" dengan bersifat struktural.

Kedua, jika pencuri/pembobol data diperkarakan secara hukum. Maka hakim yang bijak bisa jadi akan membebaskannya karena adanya istilah "yurisprudensi" - keputusan hakim terdahulu terhadap suatu perkara yang tidak diatur oleh undang-undang dan dijadikan pedoman oleh hakim lainnya dalam memutuskan perkara yang sama.

Alkisah, dulu seorang hakim pernah membebaskan pencuri. Hakim sampai pada pemahaman bahwa lapar dan kelaparan struktural-lah penyebab ia mencuri. Oleh karena itu, selain memvonis bebas, hakim juga mengirim surat ke raja, mengingatkan untuk memastikan tidak ada seorang pin yang lapar dan kelaparan di seluruh negeri.

Kemudian ketiga, masih ingatkah kita dengan perlindungan Julian Paul Assange, pendiri Wikileaks, dan Edwaes Snowden - bekas pegawai CIA ? Mereka mendapat perlindungan dari Pemerintah Ekuador dan Rusia karena telah mencuri dan membocorkan informasi dari National Security Agency. Akibat hal inilah mendorong negara-negara di G-20 mengusulkan untuk dilembagakan para pencuri/pembocor data.

Lalu kata Dedi Haryadi, Ketua Beyond Anti Corruption pada opininya Kami 12 Juli di koran harian Kompas, mengatakan. Jadi, sebenarnya mencuri/membobol data publik atau yang dianggap sebagai data publik untuk kepentingan publik itu cukup aman dan terlindungi.

0 komentar: