Bila engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka Menulislah. [Imam Al Ghazali]

Stand Up Comedy Atau Komedi Tunggal (Khazanah Bahasa)


Setiap malam di salah satu TV swasta kita bisa menjumpai acara yang beragam dengan menyuguhkan keunikannya masing-masing. Setelah penatnya bekerja hampir seharian rugi rasanya bila tidak menikmati malam santai bersama keluarga dengan menyaksikan acara hiburan tersebut, tontonan yang diberikan sepatutnya edukatif dan informatif, bukan acara lakon atau alay yang digandrungi oleh remaja-remaja seperti sekarang.

Menariknya, bagi kalangan pengamat dunia hiburan acara Stand Up Comedy adalah acara yang sukses, sehingga merambah sampai ke stasiun TV lain, yang sebelumnya hanya Kompas TV dan Metro TV yang menyiarkannya. Selama ini dari sisi jumlah penonton di 2 stasiun televisi tersebut bisa jadi ada di kelompok terbawah, dengan adanya acara ini di Indosiar yang juga satu grup dengan SCTV (yang belakangan klaim sebagai TV dengan penonton terbanyak di Indonesia) bisa memberikan tontonan yang positif ketimbang tayangan yang monoton.

Namun dengan kesuksesan acara Stand Up Comedy, ada yang aneh. Bukan acaranya, melainkan nama acaranya yang terasa agak ke barat-baratan. Bukankah negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia? dan sebaiknya bahasa yang semacam ini perlu di tinggalkan karena secara historis pendapat "kita belum merdeka dari dunia barat" layak untuk di sandingkan ke dalam acara Stand Up Comedy tersebut.

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, 1998), kita hanya mendapati “lawak” dan “komedi”, istilah yang sangat dikenal orang ramai. Tidak ada padaran untuk stand up comedy. Secara linguistik, pengalihbahasaan dari satu bahasa ke bahasa sasaran bisa dilakukan secara harfiah atau konseptual. Namun, kenyataannya, keduanya mati kutu apabila kata asalnya lebih sering digunakan di tengah khalayak. Boleh jadi, sihir media massa jauh lebih dahsyat dibanding dengan seruan bahwa bahasa baku itu perlu. Lihat, meskipun presenter tak tertera di dalam kamus, kata ini sering digunakan di Indonesia, sementara Malaysia menggunakan kata penyampai.

Hal serupa juga terjadi dalam Kamus Dewan negeri jiran. Kita tidak menemukan padanan kata majemuk di atas. Namun, seiring dengan makin populernya acara ini, komedian dan pegiat Malaysia menyebut dengan “Lawak Berdiri”, sedangkan di saluran sebelahnya dengan kata "Lawak Sorang-Sorang", yang merupakan sebutan untuk “seorang-seorang”.

Memang, kita akan sering menemukan pengalihbahasaan bahasa Malaysia terhadap kata asing secara harfiah, seperti “muat turun” (download) dan “muat naik” (upload). Sayangnya, meskipun kita menyebut “unduh”, sebutan itu jarang digunakan malah ditulis dan lisankan menjadi donload.

Sejatinya, kita mampu menghadirkan padanan bahasa asing dalam bahasa sendiri, tapi orang ramai lebih mengutamakan menggunakan bahasa asal. Pada banyak media, baik televisi maupun koran, kita akan sering mendengar kata presenter, sehingga khalayak terbiasa dengan penggunaan kata tersebut. Sementara itu, di layar kotak kaca, sang pembawa acara sering menanyakan password dalam acara kuis, alih-alih “sandi”. Padahal, di negara tetangga, Malaysia, Singapura  dan Brunei Darussalam, “kata laluan” sebagai padanan harfiah sering mendengar, sehingga pemirsa dengan mudah membayangkan password. Di sini, mungkin penelepon akan kebingunan ketika ditanya “sandi”. Karena ia mungkin membayangkan “sandi morse” yang di pelajari dalam kegiatan pramuka.

Jadi, kalau bahasa kita sejatinya bisa membayangkan alih bahasa, tugas semua pihak untuk menyebarkan dan menggunakannya dalam pelbagai kesempatan. Namun pelaku komedi tunggal yang di sebut comic tak mudah disebut “komikus” mengingat KBBI 1998 (terakhir) hanya menerangkan “orang yang ahli membuat komik cerita bergambar”.

Untuk itu, Badan Bahasa mempunyai tanggung jawab yang besar untuk melakukan terobosan-terobosan agar sebuah kata bisa digunakan dengan ringan tanpa merasa aneh mengungkapkannya. Bukan melukai amanat konstitusi bahwa bahasa baku itu perlu, tapi tertib berkata-kata itu perlu.

Akhirnya, dibandingkan dengan “jenakata”, “komedi tunggal” lebih mudah dipahami dan dibayangkan khalayak dan dijadikan kata sinonim agar kita bisa merawat khazanah sendiri. Namun ini tidak berarti menutup pintu bagi kata lain yang dianggap sebagai cerminan kekayaan bahasa Nusantara. Tak mudah mempopulerkan sebuah istilah tanpa ada usaha bersama dari semua pihak. Pada waktu yang sama, penggunaan kata serampangan, seperti launching, dalam banyak kesempatan, baik lisan maupun tulisan, telah menyebabkan matinya kata “peluncuran”. Padahal kata”peluncuran” di negeri jiran acap digunakan untuk menandai sebuah pergelaran acara. Lalu mengapa kita mesti risi menggunakan “komedi tunggal”? Bukankah istilah serupa, seperti “orgen tunggal” yang telah sering diungkapkan?

Rokok Haram Atau Mubah ?



Bila membahas rokok tiada habisnya untuk di ulas, apa lagi bersama masyarakat awam. Rasanya membahas tentang rokok adalah perilaku yang kolot jika argumentasi mereka tidak berlandaskan agama, hanya pengetahuan tentang sosial kehidupan yang mereka rasakan. Memang benar, setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah tentunya menimbulkan efek samping. Seperti kelangsungan perusahaan rokok akan terancam, pengangguran semakin banyak, dan nasib para petani tembakau yang tidak jelas kedepannya. Namun diluar itu ada lagi masalah besar yang harus kita ketengahkan, yakni urusan agama. Rokok bukan lagi harus dipandang sebagai sesuatu yang perlu di perhitungkan, sesungguhnya ia membawa mudarat, dalam konteks islam sesuatu yang haram harus (wajib) di tinggalkan. Tak peduli bagi mereka yang menentang, toh agama yang sudah berbicara melalui ulama atas rekomendasi pakar. Masih juga memikirkan kesejahteraan? Masyarakat pengangguran? Sebaiknya itu di nomor duakan, karena bisa dilakukan kebijakan baru dengan mengkaitkan beberapa opsi, tetapi tidak rasanya untuk urusan agama yang satu ini.

Dari diskusi bersama teman-teman mahasiswa Karimun, saya pun tergerak untuk mengangkatnya ke dalam blog ini. Tujuannya bukan untuk mendiskriminasi namun lebih ke pada berdakwah, dan saya merasa dalam menyampaikan kebaikan itu perlu, apa lagi menyangkut keberlangsungan umat -generasi penerus bangsa.

Rokok berasal dari pohon Tobaco yang ditemukan pada tahun 1518 M di Meksiko, para pakar yang menemukannya membawa benih pohon ini ke Eropa dan dari sana ia tersebar ke seluruh dunia. Mereka menamainya tobacco sesuai dengan nama tempat di mana ia ditemukan dan inilah yang kemudian kita Indonesiakan dengan kata tembakau (rokok).

Rokok adalah sesuatu yang relatif baru, karena itu tidak ditemukan pandangan jelas dan tegas dari pada ulama masa lampau. Namun demikian, melalui pemahaman tentang “Tujuan Agama” kita dapat mengetahui hukum merokok dan persoalan-persoalan baru lainnya. Menurut pakar Tafsir Al-qur’an terkemuka di Indonesia, M. Quraish Shihab. Yang tertera pada judul buku “Dia Dimana-mana” dengan membahas tentang  “Pohon Terlarang (rokok)”. Beliau menjelaskan, tujuan tuntunan agama adalah memelihara lima hal pokok yaitu Ajaran Agama, Jiwa, Akal, Harta dan Keturunan. Setiap aktivitas yang menunjang salah satunya, maka pada prinsipnya dibenarkan dan ditoleransi oleh islam, dan sebaiknyapun demikian.

Di tambahnya lagi. Pembenaran itu bisa mengambil hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Pandangan Islam tentang merokok dalam kategori apa ia ditempatkan dari kelima tingkatan hukum di atas, ditentukan oleh sifat rokok serta dampak-dampaknya bagi kelima tujuan pokok agama. Sebagian ulama terdahulu cenderung menilai rokok sebagai sesuatu yang mubah. Ini disebabkan karena mereka tidak atau belum mengetahui dampak negatif merokok.

Ulama-ulama kontemporer banyak merujuk kepada para pakar untuk mengetahui unsur-unsur rokok, serta dampaknya terhadap manusia. Atas dasar informasi itu, mereka menetapkan hukumnya. Al-marhum Syekh Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Al-Azhar di tahun enam puluhan, menilai pendapat yang menyatakan merokok adalah makruh, bahkan haram, lebih dekat kepada kebenaran dan lebih kuat argumentasinya.

Ada tiga alasan pokok yang dijadikan pegangan untuk ketetapan hukum ini.
Pertama, sabda Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dan Ummu Salamah bahwa : “Rasul saw. Melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemaskan (menurunkan semangat)” (HR. Ahmad dan Abu Daud melalui Ummu Salamah ra.)

Seperti diketahui, seorang perokok akan kecanduan dengan rokok, yang terlihat dengan jelasa saat ia tidak memilikinya.

Kedua, merokok dinilai oleh banyak ulama sebagai salah satu bentuk pemborosan. Hal ini bukan hanya oleh orang perorang yang membeli sebatang dua batang, tetapi justru pabrik-pabrik rokok, yang mengeluarkan biaya tidak kecil untuk mempropagandakan sesuatu yang tidak bermanfaat kalau enggan berkata membahayakan. Agama melarang segala bentuk pemborosan, jangankan dalam hal buruk, atau tidak bermanfaat, dalam hal yang baik pun dilarangnya. “Tiada pemborosan dalam kebaikan dan tiada kebaikan dalam pemborosan” Demikian sabda Nabi Muhammad saw.

Ketiga, dampaknya terhadap kesehatan. Mayoritas dokter bahkan negara telah mengakui dampak buruk ini, sehingga seandainya tidak ada teks keagamaan (ayat atau hadist Rasul saw.) yang pasti menyangkut larangan merokok, maka dari segi “Tujuan Agama” sudah cukup sebagai argumentasi larangannya.

Ulasan : Perubahan Tubuh Seseorang Setelah Berhenti Merokok

Wahai teman-teman sekalian! Jangan berkata bahwa merokok adalah persoalan pribadi.
Tidak! Perokok pasif secara sengaja atau tidak, asap rokok orang lain dapat menanggung bahaya yang tidak kurang besarnya, bahkan lebih besar dari si perokok itu sendiri. Karena itu, hindarilah merokok, sebab jika tidak, memikul dosa dua kali. Pertama mengganggu orang lain, dan sebelumnya Anda menganiaya diri Anda sendiri. Di sisi lain, yang tidak merokok hindari perokok, karen itu berarti Anda menghindari bahaya, sekaligus meneguir secara tidak langsung si perokok, dan menyampaikan secara halus kepadanya bahwa Anda enggan bergaul dekat dengannya.

Perubahan Tubuh Seseorang Setelah Berhenti Merokok


British Medical Journal menyebutkan bahwa setengah jumlah perokok akan meninggal karena rokok, lalu dari mereka setengahnya meninggal pada usia pertengahan, 20-25 tahun akibat merokok. Dalam tulisan Tjandra Yoga Aditama di harian Kompas Jumat 31 Oktober 2003, saya temukan tulisan yang mengulas unsur senyawa yang berbahaya pada rokok. Antara lain Seton (cat), Amonia, (Pembersih lantai), Butane (lighterfuel), Kadimun (aki mobil), Karbon  monoksida (asap knalpot), Metanol (bensin roket), Hidrogen sianoda (gas beracun) dan lain-lain.

Dalam koran tersebut juga disinggung perubahan tubuh setelah seseorang berhenti merokok. Akan terjadi setelah 20 menit berhenti merokok, yakni tekanan darah dan denyut nadi akan kembali normal, setelah 8 jam, kadar oksigen di darah kembali ke angka normal. Dan setelah 24 jam, karbon monoksida dieleminasi dari tubuh. Setelah 48 jam, nikotin tidak dapat lagi terdeteksi di dalam tubuh dan kemampuan untuk mencium dan merasa menajadi lebih baik. Setelah 72 ja, bernafas muliai lebih lega dan level energi mulai meningkat. Setelah 5 tahun, resiko terjadinya serangan jantung menjadi setengah dibandingkan dengan mereka yang terus merokok dan setelah 10 tahun, resiko menderita kanker paru menjadi saparuh dari resiko mereka yang terus merokok, dan resiko mendapat serangan jantung  menjadi lebih kurang sama dengan mereka yang sama sekali tidak perokok.

Lewah


Benarkah di dunia ini tidak ada yang sempurna? Ternyata ada, misalnya kalimat. “Saya pergi” adalah contoh kalimat sempurna. “Saya” sebagai subyek, sementara “pergi” sebagai predikat. Begitu sederhana, tapi justru kesederhanan itulah yang menjadikannya sempurna.

Dalam teori jurnalistik, selalu dikatakan bahwa berita, agar “sempurna”, harus memenuhi unsur dasar 5W (who,what,when, where,why) dan 1H (how). Tapi penekanannya bisa berbeda-beda. Jika peristiwa yang hendak ditonjolkan, unsur what didahulukan. Bila pelaku, korban, atau saksi yang lebih penting, unsur who yang ditonjolkan. Unsur when dan where digunakan sebagai pelengkap. Sedangkan why dan how dipakai sebagai penjelasan.

Begitu pula kalimat. Kalimat sempurna sekurang-kurangnya harus memiliki subyek (who) dan predikat (what). Kalimat “Saya pergi” yang sempurna itu bisa diberi pelengkap (when dan where): “Beniat menemui seseorang, kemarin saya pergi ke Bogor menumpang mobil teman”.

Kaimat sempurna sangat berpotensi menjadi kalimat efektif, yakni kalimat yang dapat menyampaikan imformasi atau gagasan penulisnya secara tepat kepada pembaca. Kalimat efektif selalu berupa kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap dan cermat. Jika syarat itu tak terpenuhi, kalimat akan tergelincir menjadi tidak efektif.

Salah satu penyebab kalimat tidak efektif adalah pemakaian kata mubazir, yaitu kata yang bila dihilangkan tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi. Sifatnya yang berlebihan bahkan menghasilkan kalimat rancu atau kacau.

Di media masaa, kerap saya dapati kalimat rancu semacam ini: “Dalam sebuah kemelut di sisi kanan gawang Barcelona, membuahkan tendangan pojok”. Kaimat ini kacau karena kehilangan subyek. Jika “dalam” di awal kalimat di buang. Kerancuan hilang dan kalimat itu menjadi efektif: “Sebuah kemelut di sisi kanan gawang Barcelona membuahkan tendangan pojok”.

Harus diakui, kelewahan kata bertebaran di media massa. Ironisnya, di satu sisi, media gemar menggunakan singkatan (terutama akronim). Tapi di sisi lain sering memakai kata secara berlebihan. Contoh, “Kadin meminta kepada pemerintah agar lebih serius dalam menjalankan paket kebijakan tersebut.
Silahkan buang kata-kata yang tercetak miring dalam tiga kalimat tersebut. Maka akan kita dapatkan kalimat efektif.

Ada lagi kalimat “Dua kubu pendukung saling berhadapan” dan “Masyarakat seolah-olah terbelah menjadi dua kubu yang saling berseberangan”. Imbuhan “ber-an” antara lain berfungsi menyatakan makna saling atau perbuatan timbal balik. Jadi kata “saling” sama sekali tidak dibutuhkan dalam kedua kalimat tersebut.

“Mantan” atau “bekas” juga merupakan kata yang sering dipakai padahal tak diperlukan. Kalimat “Jokowi mengaku siap berkomunikasi dengan mantan presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri” dapat di jadikan contoh, sehingga kata “mantan” tak dibutuhkan. Kata “bekas” dalam “Bambang Pamungkas, bekas pemain timnas Indonesia tahun 1998-2014 mengunjungi Kabupaten Karimun” juga contoh kata lewah karena sampai kapan pun Bambang Pamungkas adalah pemain tim nasional indonesia tahun 1998-2014.

Ada kalimat yang jika dibaca sekilas, seolah-olah tanpa masalah, seperti “Meski mengukir sukses fantastis, SMK negeri 1 Karimun tak mau berhenti sampai di sini”. Kalau kita perhatikan, ada kejanggalan di situ. Bisakah sesuatu “berhenti sampai di sini”? Tentu tidak. Bentuk yang ringkas dan tanpa masalah adalah “berhenti di sini”.

“Ia mulai berkuasa sejak 1981” juga seperti tanpa persoalan. Padahal, bila “mulai” yang lewah itu di buang, tampillah kalimat efektif: “Ia berkuasa sejak 1981”.

Sebagian orang berpendapat, dalam menulis, yang penting adalah pesan yang kita tulis sampai kepada pembaca. Kata lewah pun bukan masalah jika pembaca memahami tulisan kita. Maka seorang teman menulis begini. “Karena saya gila, sehingga menjadikan saya mudah tertawa”. Mungkin kalimat itu dapat dipahami, tapi akan jauh lebih mudah dimengerti bila kata-kata lewahnya dibuang: “Saya gila sehingga mudah tertawa”.

Arswendo Atmowiloto, penulis banyak buku. Yang saya temukan di majalah tempo pada perpustakaan daerah Kabupaten Karimun. Mengatakan bahwa tanpa melewa, penulis itu gampang. Uu Suhardi seorang penulis majalah tempo di rubrik bahasa yang mengangkat judul “Lewah” berani mengatakan, bagi penutur aslinya, bahasa Indonesia sebenarnya persoalan gampang, tapi kerap digampang-gampangkan sehingga menjadi masalah yang rumit.

4 TIingkatan Cinta Menurut Imam Al - Ghazali


Apa itu Cinta.....?
Mungkin sebagian dari para pembaca blog irudnews.blogspot.com sudah pernah merasakan Mencintai atau Dicintai.

Menurut Imam al Ghazali, ada empat tingkatan Cinta

Pertama: Ada orang yang hanya mencintai diri sendiri, cinta diri. Segala ukuran kebaikan hanya diukur dengan kepentingan dirinya. Ini adalah cinta yang paling rendah kualitasnya.

Kedua: Ada orang yang mencintai orang lain sepanjang orang itu membawa keuntungan bagi dirinya. Jika keuntungan dari cinta itu sudah tidak ada maka cintanya putus. Cinta tingkat ini adalah cinta pedagang, cinta transaksional.

Ketiga: Ada orang yang mencintai orang baik, meski ia tidak diuntungkan (baca, tidak diterima) sedikitpun dari orang yang dicintainya itu. Cinta tingkat ini sudah termasuk cinta yang agung.

Keempat: Ada orang yang mencintai kebaikan murni terlepas dari siapapun yang memiliki kebaikan itu. Cinta tingkat ini adalah yang tertinggi, dan merekalah yang dapat mencintai Allah, karena Allah itu adalah kebaikan.


Sahabatku yang ingin segera menikah, jadikanlah sakinah mawaddah warahmah sebagai motiv cinta untuk menemukan jodoh kalian, cinta yang membawa ketenteraman, ketenangan dan kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga hanya dengan mengharap keridhaan Allah. Jangan putus asa, tetaplah berikhitiar dan memohon kepda Allah maka Allah akan mengirimkan jodoh yg terbaik untuk kalian.

Lagi-lagi Gedung KECC Yang di Sorot


Apa yang terjadi di atas ? foto yang diambil pada perayaan HUT RI yang ke 71 di costal area tersebut mengundang reaksi saya yang kesekian kali untuk membahasnya.
Sebenarnya tidak ada yang salah pada gambar di atas, namun tahukan anda kalau bangunan yang diduduki para penonton tersebut adalah aset Pemkab Karimun yang tidak terpakai dan tak jelas kemana arah tujuannya. Namanya adalah Karimun Exebithion and Convention Centre (KECC), bangunan milliyaran rupiah yang seyogyanya menjadi penunjang PAD Karimun namun sampai detik ini tidak ada satupun pergerakkan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Karimun..

Kami dari PC PMII Karimun meminta pemerintah Kab Karimun untuk serius mengelola bangunan ini, dan untuk para dewan terhormat segera bertindaklah yang sebagaimana seharusnya.. 

Karimun Menuju Perubahan


Salah satu manusia tercerdas di dunia “Albert Einsten” pernah berujar bahwa ukuran kecerdasan bukan terletak pada kebiasaan memakai alat-alat lama, tetapi pada kemampuan untuk merubah. Kalimat ini bagi saya harus di renungi disetiap orang yang yakin akan perlunya keberanian untuk berubah.

Dalam implementasinya setiap perubahan diperlukan percakapan. Bahasa dan cara-cara yang kita pakai dalam berkomunikasi akan menentukan suatu organisasi/komunitas, perusahaan, hubungan, dan masa depan. Kita harus memilih apakah ingin terus saling menyalahkan dengan menunjuk hidung, fokus pada apa yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Atau sebaliknya, yakni fokus pada apa yang bisa dikerjakan orang bersama dan saling menghargai?? Ayo kawan.. saatnya kita bangun suatu peradaban yang bagus di karimun ini. Berubah dan beruba!

Meski saya bukan pakar motivasi seperti Mario Teguh tetapi saya setidaknya sudah berupaya untuk merubah melalui cara ini, yakni menyadarkan ke orang ramai-pentingnya makna perubahan-yang sibuk dengan kerutinan aktivitasnya.

Mari kita contohi penduduk jepang, negeri yang terkena musibah tsunami pada beberapa tahun yang lalu, bisa bangkit dalam sekejap dengan terlihatnya lumbung padi serta tanaman-tanaman yang siap mereka jual.

Jawaban yang langsung di kepala saya adalah mereka tidak suka bermalasan. Barang kali di setiap benak penduduk jepang bermalas-malasan adalah dosa besar. Semalas-malasnya manusia jika dibanding makhluk lain, manusia adalah makhluk yang punya nalar dan bisa belajar. So belajar adalah sarana untuk memperbarui diri. Tanpa belajar kita akan terperangkap hidup di masa lalu.

Seperti kata Albert Einstein lagi, “Kita tidak bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan cara-cara lama.”

Senin yang lalu saya membaca buku Let’s Change karya Prof. Rhenald Kasall, Ph.D di perpustakaan daerah milik Pemkab Karimun. Beliau mengatakan rasa takut dan rasa sakit adalah dua instrument Tuhan untuk mengatur manusia. Tambahnya lagi, bagi sebagian orang rasa takut sudah bisa membuatnya berubah, tapi ada sebagian orang yang belum mau berubah meski rasa takutnya sudah amat jelas. Orang-orang seperti ini baru berubah setelah rasa sakit melebihi rasa takut.

Waww, menarik bukan kata-katanya? Saya rasa anda yang membaca kutipan dari profesor ini paham apa yang dimaksud, nah jika paham. Kapan kita ingin merubah? Apalagai sebuah perubahan besar untuk masyarakat umum. Tentunya masyarakat karimun, masyarakat yang perlu dituntun untuk berubah..

Indonesia kini, selalu menimbulkan masalah baru di berbagai daerah. Seperti kekerasan seksual, ketenagarakerjaan, kemiskinan, sampah berserakan, hingga mahasiswa yang dipandang sebelah mata. Di era ini perlu adanya orang-orang pergerakan dalam bentuk perubahan besara-besaran, bukan hanya berkutat di kursi panasnya sambil membanggakan teorinya yang tak pernah terealisasi.

Dan dari tulisan di atas, dapat kita simpulkan bahwa salah satu penghalang bagi manusia -Indonesia- untuk memperbarui diri adalah kita selalu merupakan produk dari masa lalu.

#salampergerakan.

Baca Juga : Nak Kemane? Tak ade ..

Saya Setuju Wacana Baru Mendikbud!!

Baru dua pekan menggantikan Anies Baswedan, penambahan jam waktu belajar pada SD dan SMP ingin diterapkan oleh Muhadjir Effendi. Gagasan ini ia temukan dari Nawacita. Yakni pendidikan karakter dan budi pekerti, yang mencakup 80 persen. Sementara 20 persennya pengetahuan. Seluruhnya ada18 butir yang isinya seperti kepribadian, olahraga, hingga agama.
Ramai Gunjing perihal wacana ini, dilihat dari sumber media yang beredar banyak sekali penolakan yang berasal dari orang tua para murid. Sampai dengan mengisi petisi yang telah ditandatangani oleh 20.820 orang.
Sementara dari sudut pandang yang membuat kebijakan ini menganggap perpanjangan waktu ini tidak melulu diisi oleh pelajaran, melainkan pendidikan karakter, bahasa, rohani, dan lain-lain. Katanya lagi, jam pulangnya pun di atur menajdi sore sehingga tepat dengan jam pulang orang tua mereka.
Pro dan Kontra telah mewarnai pembahasan yang paling hangat di dunia pendidikan indonesia saat ini, padahal masalah amburadulnya kurikulum belum tuntas untuk di selesaikan. Kini hadir lagi sebuah masalah baru, agaknya mendikbud baru ini bukan ingin sembarangan meletakkan isu. Ada nilai positifnya jika sebuah rumor telah ramai dipergunjingkan, dari situ pemerintah bisa mengambil sebuah opini, masukan serta berupa saran dari berbagai kalangan termasuk individu.
Sah-sah saja bagi mereka para orang tua dan guru yang telah menandatangani petisi, karena merekalah yang terlibat di dalam itu semua. Namun harus di ingat bahwa pendidikan yang baik benar adanya seperti yang presiden Jokowi katakan. Generasi muda harus memiliki karakter bangsa, di antaranya adalah etos kerja, kerja keras, integritas, kejujuran, optimisme, serta gotong royong. Sehingga kedepannya bangsa indonesia bisa menjawab tantangan abad ke-21. Bangsa yang menang adalah bangsa yang memiliki karakter yang kuat. Kita Sebagai masyarakat seharusnya jangan fokus pada isuy penambahan jam sekolah, tetapi penguatan pendidikan karakter anak-anak. Seandainya wacana ini benar terealisasi, tidak dipungkiri lagi angka kriminalitas terhadap anak-anak dan remaja akan berkurang, sebab merela para pelajar akan pulang secara bersamaan dengan orang tua.

Masih Muda Sudah Berani Berhijrah


Assalamualaikum..

Ada cerita yang menarik pada malam rabu (3-8-2016). Menjelang tengah malam suasana malam di batu lipai seperti biasa, sepi, namun kendaraan tetap saja berlalu lalang. Ada pemandangan yang tampak aneh tetapi bagi saya sungguh luar biasa pada malam itu, dengan mengendarai sepeda motor matic dua wanita yang berboncoengan ini masuk ke minimarket My Mart. Sengaja saya berdiri di depan pasar swalayan tersebut, sebab malam itu saya ingin mengambil surat lamaran pekerjaan seseorang untuk membantu mencari pekerjaannya.

Baca artikel : Karena Cadar

Sejenak terlintas bahwa mereka adalah wanita muslim yang taat, pastilah keturunan habib, kia'i terlebih ulama besar. dan sejak kecil di ajar serta di didik di pesantren. Melihat dari postur tubuh mereka tidaklah begitu besar, agaknya mereka baru usia belia yang sedang menuju remaja. Hati kecil saya berkata " Sungguh beruntung seorang pria bila mendapatkan dari salah satu dari kalian, seandainya aku sudah siap seperti kalianlah yang akan aku pinang ". Haha, ngawurr.. Kerja aja belum tetap.

Pemandangan itu menjadi ajang sebuah kejutan, pemilik minimarket dan pengunjung melirik-lirik apa yang mereka lakukan, maklum rasa curiga telah melekat pada dua gadis muslimah tersebut. Dengan pakaian berwarna hitam lengkap dengan cadarnya, seolah mereka bukan warga republik ini, alihan merek tentu tertuju pada negara arab dan negara yang sedang berperang -sebut saja ISIS. Sebuah negara buatan yang ingin mendirikan negara islam dengan pemahaman mengikuti sunnah nabi. Akhir-akhir ini di media selalu ada pemberitaan kelompok saparatis, jubah-jubah seperti ini selalu berada di belakang aksi mereka, yakni istri-istri yang setia bersama suaminya, mereka pemberontak yang mengatas namakan agama islam.

Wassalam..

Karena Cadar


Hari ini bukanlah membahas kelompok saparartis, ISIS, kelompok santoso atau lainnya. Tapi adalah dua wanita bercadar yang berada di rubrik ulasan tadi. Mengutip dari artikel seseorang yang mengatakan ''Kalau bercadar nanti tertutup dan susah mendapatkan jodoh", tulisan ini hadir sebagai jawaban bagi wanita muslim yang belum ingin merasakan nikmatnya berhijrah ke jalan yag benar.

Jika masih ada yang berkeyakinan seperti ini, maka silahkan lihat dan tanya apakah ada wanita yang bercadar yang berumur di atas 25 tahun yang masih belum menikah? Maka akan sangat susah mendapatkannya. Belum lagi mereka genap berumur 20 tahun sudah banyak laki-laki yang bertanya apakah ia sudah siap menikah sehingga bisa dilamar. Seperti cerita di awal tadi. Saya saja bertanya, karena berbagai faktor dan pertimbangan, saya urungkan niat untuk menggaetnya menjadi pendamping hidup.

Yang mencari mereka tentu laki-laki yang bertangggung jawab. Menikahi mereka bukan semata-mata karena kacantikan tetapi karena agama dan akhlaknya dan inilah yang bahan bakar utama kebahagiaan rumah tangga sampai menjadi pasangan abadi di akhirat kelak. Malah yang sering di dengar adalah para wanita “kurir” yang susah mendapatkan jodoh. Entah karena sibuk bekerja atau mencari yang lebih tinggi di atas mereka. Sudah berumur hampir mendekati menopouse masih saja kesulitan mencari jodoh.

Pakai cadar dan jilbab besarnya gerah dan panas
Neraka lebih panas lagi. Segala sesuatu butuh pengorbanan. Ini sama seperti jawaban kalian kepada mereka yang belum berjilbab dan menutup aurat. Mereka yang belum berjilbab juga merasa nantinya akan kepanasan dan gerah jika memakai jilbab. Maka sama juga dengan kalian sekarang yang belum memakai cadar atau purdah. Ini hanya masalah kebiasaan. Jika sudah terbiasa maka perasaan gerah dan panas akan hilang dan juga jika mamatuhi perintah Allah dan Rasul-Nya dengan tidak sering-sering keluar rumah. Maka perasaan panas dan gerah bisa diminimalkan.

Motivasi untuk Memakai Cadar
Siapa lagi kalau bukan kalian? Kalian wanita muslimah yang telah Allah karuniakan hidayah untuk peduli terhadap agama ini. Janganlah berharap kepada kebanyakan manusia, karena mereka tenggelam dengan kenikmatan dunia dan lupa bahkan pura-pura lupa terhadap agama. Apalagi mau menolong agama Allah dengan menjaganya. Kita yang mau peduli terhadap agama sangat sedikit dan janganlah kita mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” [Al-An’am: 116]

Siapa lagi yang akan mengenalkan ajaran cadar kepada manusia? Siapa lagi yang akan menolong agama Allah? Siapa lagi yang melestarikan sunnah agar tidak punah dimuka bumi? Cadar dan sunnah yang lain sudah terasing, apakah ia hendak punah lenyap tak berjejak? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

“Pada awalnya Islam itu asing dan Islam akan kembali asing sebagaimana pada awalnya. Sungguh beruntunglah orang-orang yang asing.” [HR Muslim no. 389]

Kalian merintis dan memberikan contoh, pahala akan terus mengalir
Ini adalah kesempatan emas. Dimana jika kalikan merintis sunnah ini disaat keterasingan cadar merajalela. Renungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barang siapa yang merintis kebiasaan yang baik [sunnah] dalam Islam maka untuknya pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” [HR Muslim no 2398]