Bila engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka Menulislah. [Imam Al Ghazali]

Ku Ingin "Wajah Baru" Negeri Ini


Oleh : M. Mizan Fatoni, A.Md.Kom

Sungguh sangat miris, 73 tahun negeri ini merdeka. Namun tak pernah berdiri dipuncak era, begitu gagahnya para pahlawan memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Namun hari ini, justru kita dengan "gagahnya" membiarkan negeri ini kembali terjajah.

Secara de facto & de jure negeri ini memang telah merdeka, namun jiwa kita masih terbelenggu oleh "kejahatan" masa lalu. KKN, politik adu domba (devide at impera), itu adalah salah satu contoh bahwa negeri ini masih "terbelenggu" oleh masa lalu "belum muve on", begitulah istilah remaja.

Korupsi sudah membudaya dan menjadi hal yang biasa-biasa saja, koruptor dengan santainya melambaikan tangan ke publik dengan senyumnya seakan dengan bangga ingin mengatakan "saya ini koruptor lhoo". Waaw.. dimanakah budaya malunya???.
Begitu juga dengan kolusi dan nepotisme yang tak kalah maraknya terjadi di negeri ini.

#2019GantiPresiden
#2019TetapJokowi
Dua tagar yang viral saat ini. Akankah mencerminkan sebuah demokrasi atau bagian dari kebebasan berpendapat, atau juga bagian dari politik adu domba "devide at impera" yg malah menimbulkan gesekan dinegeri ini ?

Jawaban ada pada diri kita masing-masing, bagaimana menyikapinya. Jangan sampai menimbulkan gesekan yang mencederai keberagaman yg telah menyatukan kita selama ini. Kita tentunya hanya ingin negeri yang aman, damai dan sejahtera.

Untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air mari sama-sama berdo'a siapa pun pemimpin negeri ini semoga menciptakan perubahan positif untuk mewujudkan mimpi Kita bersama yang mendambakan "WAJAH BARU" negeri ini, negeri Baldatun Thayyibatun Wa Robbun Ghofur.

#Salam_perubahan

Perubahan Zaman, "Parlemen Jalanan" Tak Seramai Dulu

Aksi Sosial Penggalangan Dana di Simpang 3 S. Lakam dari PC PMII Karimun, Universitas Karimun serta STIE Cakrawala Karimun tahun 2017

Parlemen jalanan masih jadi tempat yang bagus untuk menyuarakan aspirasi, tentu saja pola mahasiswa kini sudah berubah. Dulu orang mengistilahkan aksi mahasiswa kerap berbau anarkis, sekarang mereka lebih ke aksi damai.

Hal demikian dianggap wajar, karena mahasiswa telah beradaptasi dengan perubahan dunia, termasuk teknologi. Perkembangan teknologi patut kita akui bersama, karena pengaruh tersebut membuat sejumlah aktivis turut mengubah pola gerakannya,  menggunakan media sosial menjadi salah satu sarana menyampaikan aspirasi dan pemikiran kritis transformatif.


Lalu, banyaknya mahasiswa yang lebih aktif dalam kegiatan akademik dan kegiatan ekstra. Membuat gerakan mahasiswa tak lagi seramai dulu, yang akhirnya hubungan sosial mahasiswa mulai agak renggang.

Di saat program Kerja Kuliah Nyata (KKN) akan tampak aslinya, siapa saja mereka yang aktif dan gesit mengaplikasikan ilmu dan pengalaman mereka saat berkuliah dan berorganisasi. Sebab KKN merupakan sebuah permodelan dari dunia kerja sesungguhnya ketika keluar dari kampus dan menyandang gelar sarjana. Atau kata lainnya tolak ukur sebuah kepekaan dari mahasiswa itu sendiri.

Bagi generasi millenial yang banyak menghabiskan waktu di media sosial, sementara di dalamnya banyak berita hoaks, radikalisme, hingga politik yang menggunakan isu SARA dan kebencian. Hal ini harus disadari dan menjadi perhatian sejumlah mahasiswa.

Zaman boleh saja berubah, namun mahasiswa tetap mampu bersikap gigih memperjuangkan nasib rakyat meski tidak lagi segarang dulu.

Senior Harus Khawatir Dengan Kadernya


Aktivitas kemahasiswaan di dalam maupun di luar kampus masih menjadi daya tarik bagi sebagian mahasiswa Karimun untuk meningkatkan kemampuan dan akademik. Apalagi pengalaman berorganisasi sering dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan atau meniti karir di masa depan.

Namun kepentingan untuk meraih masa depan yang lebih baik serta perkembangan teknologi, memunculan perubahan minat mahasiswa Universitas Karimun (UK) dan STIE Cakrawala Karimun terhadap aktivitas diluar kuliah.

Saat ini, aktivitas di bidang sosial politik, seperti kajian pemikiran sosial dan politik di kalangan mahasiswa, cenderung kurang diminati minati. Unit kegiatan mahasiswa di UK dan STIE Cakrawala Karimun misalnya, yang berkaitan dengan kemampuan olah kepekaan sosial, seperti pers kampus ataupun himpunan jurusan miskin animo, bahkan pers kampus tidak ada di kedua kampus tersebut.

Ketertarikan terhadap sifat aktivitas organisasi kemasyarakatan juga cenderung menurun. Sebaliknya aktivitas yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas individual dan berkaitan langsung dengan karakter pekerjaan di masa depan, seperti di bidang riset teknologi dan urusan rintisan lebih diminati.

Hal demikian disinyalir, tidak optimalnya peran organisasi sayap kedua di perguruan tinggi, yakni PMII, HMI, dan GMNI dalam melakukan kaderisasi. Jika ditelusuri jejaknya, untuk IMM saja belum tampak hadir dipermukaan.

Kondisi ini memunculkan "lahan kosong" yang dimanfaatkan oleh pihak lain. Sehingga hal ini merupakan momentum introspeksi diri bagi seluruh anak bangsa, khususnya mahasiswa organisasi eksternal Kabupaten Karimun.

Selain itu, juga kritik bagi elemen bangsa lain seperti Muhammadiyah dan NU yang kurang masif dan agresif dalam mengembangkan gerakan di generasi muda.

Kemudian pula, di era reformasi ini. Kantong-kantong pergerakan intra kampus yang kini melemah. Karena komunitas pergerakan saat Orde Baru yang ada di kampus, telah beralih mencari ruang baru di luar kampus, seperti ke partai politik, profesional, dan pers.

Mereka sudah jarang ke kampus untuk menjaga kaderisasi, akibatnya saat ini banyak mahasiswa yang tidak cukup punya wawasan politik dan kepekaan sosial. Hanya fokus mengejar mimpi terjadinya. Dan ini yang paling penting untuk difikirkan oleh senior ataupun kita pasca berorganisasi!

Kharakteristik Individual Dari Mahasiswa Millenial


Menguatnya penetrasi media sosial membuat perubahan pada pola gerakan mahasiswa. Karena mereka merasakan dengan media sosial sudah bisa mengisikan sikapnya, termasuk untuk mengkritik pemerintah, elite ataupun kebijakan pemerintah.

Perubahan pola gerakan mahasiswa yang sebelumnya cenderung mementingkan aksi kolektif dalam merespon isu sosial politik ini sudah menjadi lebih berbasis subjektivitas individual. Hal ini dikawatirkan akan semakin sulit mengharapkan munculnya gerakan ataupun isu-isu strategis kebangsaan dari mahasiswa. Begitulah tulisan awal pada rubrik 'Aktivitas Mahasiswa' di surat kabar Kompas, Selasa 31 Juli 2008.

Gerakan-gerakan semacam metode diskusi untuk membahas isu-isu terkini, memang masih dilakukan. Tapi menyebarkan informasi melalui media sosial lebih kian marak sebab target yang dicapai adalah generasi milenial kampus.

Dengan adanya perubahan pola gerakan tersebut, akan kian sulit untuk melihat mahasiswa turun kejalan dalam jumlah besar untuk menanggapi isu-isu sosial politik. Selain itu akan menjadi lebih sulit pula menemukan format ideologis untuk menyatukan gerakan-gerakan mahasiswa yang saat ini menjadi sporadis lebih individual.

Melihat jauh ke dalam, pergeseran gerakan mahasiswa dalam cara melihat mencari solusi atas suatu masalah, mahasiswa generasi mineral punya cara menafsirkan -termasuk penulis di blog ini- nilai-nilai kebangsaan dengan cara yang berbeda dengan seniornya.

Namun, pergeseran pola gerakan mahasiswa itu sendiri harus kita yakini sebagai mahasiswa -yang optimis terhadap bangsa dan negara ini. Tidaklah selalu negatif karena merupakan respon atas tantangan zaman yang berbeda pula.

Kendati lebih cenderung ke aksi pribadi, sebagian gerakan mahasiswa tetap memberi dampak yang tidak kalah dari aksi kolektif di masa lalu. Dengan memanfaatkan teknologi mahasiswa bisa menginisiasi petisi daring, lalu ada pula yang menawarkan solusi berupa pembentukan perusahaan rintisan.

Salah satu tantangan mahasiswa saat ini, justru memfasilitasi dan mengkanalisasi gerakan-gerakan individual yang mahasiswa itu sendiri.

Kini percayalah, mahasiswa bertranformasi dalam bentuk berbeda, tidak sepenuhnya melemah. Karena mereka sedang berupaya mencari gaya dalam mengartikan kepekaan sosial yang boleh jadi berbeda dengan pemahaman sosok-sosok pergerakan di masa lalu. Menurut Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia.

Maka jika ditarik kesimpulan, mahasiswa saat ini cenderung memberikan perhatian pada isu yang bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka seperti uang kuliah atau pemilihan rektor, dll.

Sumber : Harian Kompas judul asli "Gerakan Kolektif Berubah Bentuk"

4 Kekeliruan Pandangan Marxisme


Dengan berlalunya waktu, berbagai pandangan Marxisme semakin jelas penampakkan kekeliruannya sehingga mencoreng muka mereka sendiri. Umpama berkaitan dengan peristiwa revolusi Islam di Iran. Meletusnya revolusi yang menggegerkan tersebut telah menuding hidung masyarakat kita yang telah melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam memandang keberadaan agama serta proses perubahan sosial.

Diantaranya, Marxisme mengatakan bahwa keberadaan agama tak lebih sebagai candu masyarakat. Agama telah menjadikan masyarakat lunglai, lesu, hina, pasrah dan kecanduan. Akan tetapi di negeri jiran ini kita melihat memiliki 35 juta saksi yang bisa mengatakan bahwa alih-alih membuat lesu, agama justru telah menghembuskan semangat dan menginspirasikan pergerakan kepada masyarakat. Ini merupakan salah satu bentuk pandangan mereka yang keliru dan amat memalukan.

Kekeliruan kedua dari pandangan Marxisme adalah ketika mereka mengatakan, "Kerusakan moral merupakan akibat dari kelemahan ekonomi." Berdasarkan itu, bisa dikatakan bahwa apabila seseorang mencuri, umpamanya maka tindakannya itu lebih disebabkan oleh tekanan kemiskinan!

Untuk itu kita juga memiliki 35 juta orang yang menyaksikan bawah Syah Iran, si penghianat adalah gembong para perampok. Kondisi kehidupan ekonomi dirinya tidaklah miskin demikian pula halnya dengan status ekonomi dari berbagai pencuri kelas kakap lainnya di seantero sejarah.

Kekeliruan ketiga Marxisme terjadi dalam perkataannya "Yang mencetuskan revolusi adalah gerakan orang-orang miskin dan perlawanan kaum yang kelaparan melawan para pengaruh keuntungan!"

Lagi-lagi kita semua yang menyaksikan fenomena di Iran bahwa revolusi Islam Iran diledakkan demi mewujudkan gagasan serta kemerdekaan dalam melaksanakan hukum-hukum Ilahi, bukan demi roti dan air, juga bukan dikarenakan tinggi rendahnya harga barang-barang! Jika benar bahwa revolusi tersebut merupakan bentuk perlawanan orang-orang miskin (vis a vis segelintir penggeruk keuntungan), tentunya mereka yang pertama kali akan menggelar revolusi adalah para penduduk yang tinggal di daerah Kurdistan, Sistan atau Balujistan.

Namun, api revolusi yang di sulut dari Madrasah Faidhiah dan dipimpin para ulama, dengan mengumandangkan slogan Allahu akbar, justru  terjadi pada hari-hari Asyura (10 Muharram). Dan pergerakan tersebut mencapai puncaknya tak kala hari Arba'in (hari ke-40 dari kesyahidan Imam Husein di medan Karbala, tanggal 28 Safar).

Semua itu merupakan bukti nyata bahwa yang menggerakkan revolusi tak lain dari spirit keyakinan (ideologi) bukannya perut. Revolusi tersebut menggelar tak lain demi menghidupkan undang-undang Ilahi dan mencampakkan undang-undang penguasa zalim.

Revolusi tersebut bukanlah buah dari pergerakan orang-orang miskin. Tentu saja kita tidak mengingkari peran dari tekanan kondisi ekonomi serta keberadaan kaum miskin. Namun faktor manakah yang menjadi lokomotif serta penggerak utama revolusi tersebut? Perut atau ataukah ideologi? Betapa banyak mereka yang hidup serba berkecukupan namun kemudian menyerahkan apa yang mereka miliki demi kemenangan revolusi.

Kekeliruan keempat dari pandangan Marxisme malah lebih menggelikan lagi. Kali ini komentar mereka berkaitan dengan keberadaan Ideologi dan agama mereka menyatakan, "Kaum kapitalis dengan perantaraan salah satu sarana pemberi harapan yang disebut dengan mahzab." Berusaha menenangkan dan membungkam suara orang-orang miskin. 'Bersabarlah, Tuhan menyukai orang-orang yang masuk orang-orang yang sabar. Jika hak kalian dilanggar, tabahkanlah hati kalian.' Atau dikatakan, 'Dunia tidak memiliki nilai, yang utama adalah akhirat.' Atau, 'Janganlah kalian melakukan revolusi tunggulah kedatangan Imam zaman (Mahdi). Beliau sendirilah yang akan membuat perbaikan.' Juga dikatakan, 'Lakukanlah taqiah. Apapun yang kalian saksikan, janganlah bersuara.'

Seruan-seruan semacam itu yang didengungkan kaum kapitalis melalui perantaraan sarana pemberi harapan yang dinamakan dengan ideologi. Pada akhirnya, seruan-seruan tersebut dibenarkan kelas pekerja, yang karenanya mereka (kaum kapitalis) berhasil mencegah dan menghalangi kelas pekerja untuk melakukan perlawanan serta penggugatan terhadap hak-haknya. Perhatikanlah dengan cermat, betapa pernyataan semacam itu amat sulit diterima akal sehat. Pandangan tersebut sungguh amat memalukan.

Alhamdulillah, kita hidup dalam sebuah masa, dimana para pemudanya telah mengalami kemajuan berpikir yang sangat menyenangkan sehingga sanggup menjawab berbagai pandangan Marxisme yang irasional dan primitif semacam itu. Dalam sekejap saja para pemuda muslim akan menunjukkan berbagai bantahan kepada para pendukung Marxisme, diantaranya :

Jika yang menjadi pencipta ideologi atau agama adalah kaum kapitalis, dan itupun ditunjukkan untuk memenangkan kaum miskin, lantas mengapa dalam ideologi atau agama itu sendiri termaktub undang-undang yang justru menggerogoti model kaum kapitalis dan bahkan menyita harta mereka?

Berbagai keuntungan yang diperoleh kaum kapitalisme melalui proses kezaliman, suap, pelambungan harga, pengurangan penjualan, riba, penumpukan kata, penipuan dan sebagainya -dengan kata lain seluruh kekayaan tersebut dihasilkan melalui cara-cara ilegal, akan serta merta disita oleh Islam dan ideologinya. Kalau memang demikian adanya, bisakah dibenarkan bahwasannya kaum kapitalislah yang menciptakan agama dan ideologi ? Mungkinkah mereka menciptakan sesuatu yang justru pada akhirnya akan merampas seluruh harta yang dimilikinya ?

Urainan ini baru ditinjau dari satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, berkenaan dengan berbagai peristilahan yang maknanya bisa diselewengkan sendirikan rupa. Padahal, agama sendiri telah memaknai berbagai peristilahan tersebut secara jitu dan benar. Umpama istilah, intidzar (penantian), yang artinya bukan semata-mata diam dan berpangku tangan. Ketika menanti terbitnya matahari, tentunya pada malam hari kita tidak hanya berdiam diri dan tidak menyalahkan pelita atau lampu. Makna dari menanggung musim panas bukan berarti pada saat musim dingin kita tidak mempersatukan berbagai sarana pemanas ruangan.

Benar, dalam menunggu kedatangan Imam Zaman demi mengharap terjadi perbaikan, tidak berarti kemudian kita tidak melakukan aktivitas apapun, berdiam diri. Bahkan tunduk di bawah tekanan kezaliman. Makna dari idiom "dunia tidak memiliki nilai" bukan melepaskan dunia secara total. Akan tetapi maksudnya adalah bahwa eksistensi manusia yang merupakan khalifah Allah dimuka bumi jauh lebih bernilai dari keberadaan itu sendiri. Sehingga, jangan sampai keberadaan dunia menjadi tujuan utama seseorang.

Pendek kata, dalam pandangan Islam, istilah kesabaran, penantian dan kerelaan bukanlah dimaksudkan bahwa kaum miskin harus pasrah dan berdiam diri terhadap berbagai kebijakan para pengeruk keuntungan.

Selain minta harta yang telah dikumpulkan tongkat penista dengan cara yang tidak absah, Islam juga menyeru kepada orang-orang miskin

1. Tidak dibenarkan tunduk merendahkan diri dihadapan para pemilik modal. Barang siapa yang merendahkan dirinya dihadapan seseorang karena hartanya, maka sepertiga dari agama yang telah lenyap.

2. Imam Ridha berkata, "Barangsiapa yang lebih bersemangat dalam memberi salam kepada orang-orang kaya, pada hari kiamat kelak Allah akan murka kepadanya."

3. Memperingatkan manusia agar jangan sampai mengistimewakan seseorang dikarenakan hartanya.

4. Tidak dibenarkan duduk dalam sebuah hidangan yang hanya dihadiri orang-orang kaya.

5. Imam Ridha sendiri senantiasa duduk dan saat bersantap bersama dengan budaknya. Nabi Sulaiman AS dengan berbagai keagungannya, senantiasa hidup bersama dengan orang-orang di sekitar orang miskin. Ali bin Abi Tholib senantiasa duduk beralaskan tanah, dan nabi-nabi kitab pada umumnya menjadi pengembala ternak. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang menganggur, dan mengutuk seseorang yang membebankan kebutuhan hidupnya kepada orang lain.

Dari cerita-cerita tersebut, kita mengetahui dengan jelas bahwa keberadaan Islam bukanlah hasil rekayasa kaum kapitalis. Islam tidak mendukung kebijakan mereka, bukan penyebab kerusakan serta tidak menganjurkan seseorang untuk berdiam diri. Semua ini merupakan kajian singkat terhadap pandangan Marxisme seputar penyebab munculnya agama dan ideologi. Kesimpulannya, pandangan Marxisme merupakan pandangan yang menyimpang dari kebenaran dan isinya amat menggelikan.