Bila engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka Menulislah. [Imam Al Ghazali]
Home » » Pandangan Mahasiswa Terhadap DPD dari Parpol

Pandangan Mahasiswa Terhadap DPD dari Parpol


Dulu dari tahun 1999-2002 terjadinya amandemen UUD 1945 menjadikan badan perwakilan di Indonesia mengalami perubahan,  yang semula menganut monokameral menjadi bicameral atau dua kamar, yang terdiri dari DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang mewakili kepentingan daerah.

Lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memiliki total 132 anggota ini berfungsi untuk memperjuangkan aspirasi daerah bukan aspirasi partai politik (parpol). Tentunya hal ini akan tereduksi jika kehadiran anggota DPD dari parpol.

Nah, ada yang menarik dari ini semua. Salah satu pimpinan DPD RI pernah mengatakan banyaknya anggota yang bergabung dengan partai politik, justru semakin menguatkan aspirasi penguatan DPD karena bisa menyampaikan aspirasi melalui fraksi.

Rasa kekhawatiran saya pun muncul, jika DPD dihuni terlalu banyak kader parpol. Kondisi ini bisa jadi melemahkan komitmen anggota DPD untuk penguatan lembaga. Sebab, persaingan dan kepentingan akan lebih menonjol dengan ganjalan dari parpol.


*Semangat Demokrasi Ternodai
Merujuk pada Pasal 247 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), anggota DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.

Karena dibentuk sebagai penyeimbang dari DPR selaku representasi politik. Sehingga, jika DPR menyimpang dari kehendak publik, DPD bisa tampil sebagai penyeimbang, mengingatkan DPR. Ini yang belum banyak kita sadari bersama.

Sejatinya, anggota DPD yang bekerja secara mandiri tidak dipengaruhi oleh kepentingan lain. Padahal kalau kita lihat DPD sangat strategis dalam memperjuangkan daerahnya. Mereka murni untuk kepentingan daerah, terutama mengenai SDA, pemekaran, dan ekonomi.

Dengan masuknya sejumlah anggota DPD sebagai anggota parpol bakal mengubah substansi dari pembentukan DPD itu sendiri.

Acapkali masyarakat di daerah, serta masyarakat adat dan kelompok minoritas sedikit tersentuh oleh partai politik yang memiliki wakil di DPR. Jadi Logika sederhananya, DPD dibentuk sebagai penyeimbang saluran aspirasi rakyat di daerah yang tidak terserap di DPR.

Karena sudah diisi dari DPR maka akan terjadi overload jika DPD tetap dari parpol. Lalu bagaimana bisa mengurusi otonomi daerah jika kepentingan parpol lebih besar dari pada daerah ? Sehingga idealnya memang harus diisi oleh tokoh-tokoh daerah, bisa juga dari tokoh adat, atau tokoh masyarakat.


*Kilas Balik
Sebelumnya kita ketahui pemilihan anggota DPD pada Pemilu 2004 lalu sudah baik karena anggota DPD berasal dari calon perseorangan yang bukan merupakan anggota partai politik. Namun, kemudian UU Pemilu direvisi, sehingga mulai Pemilu 2009 anggota DPD bisa berasal dari anggota partai politik.

Sangat riskan melihat kenyataan sekarang. Kini regulasi tersebut sama halnya dengan Pemilu 2019 mendatang. Hal ini bisa kita lansir di Web mengenai konfirmasi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kemendagri, Komisi II DPR, dan KPU RI di gedung DPR RI Senayan, Jakarta pada Selasa, 13 Maret 2018.

Dalam rapat tersebut disebutkan bahwa nantinya kader parpol tidak harus mundur jika ingin mendaftar ke KPU sebagai calon anggota DPD. Nantinya, peraturan itu akan dimuat dalam Peraturan KPU (PKPU) yang akan diundangkan ke Kementerian Hukum dan HAM dalam waktu dekat.


*Pasal Krusial
UU MD3 memang tidak memuat larangan anggota DPD diisi oleh unsur politik. Hal itu juga dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUUIV/ 2008 atas uji materiil Pasal 16 dan 67 Undang-Undang (UU) 10/2008 terhadap UUD 1945, yang memperbolehkan kader parpol menjadi anggota DPD.

Sangat tak elok sekelas MK memutuskan UU yang rawan tersebut. Bahkan guru besar Hukum Tata Negara, UI Satya Arinanto pun menyayangkan saat UU tersebut dibawa ke MK, justru dimuntahkan karena dianggap diskriminatif.

Kendati demikian, aturan yang membatasi kewenangan anggota DPD memang perlu kita disikapi dengan serius. Khususnya kaum intelektual lagi negarawan. Pasalnya, frasa yang dimaksud dalam Pasal 22d UUD 1945 'ikut membahas' terkait sejumlah pembentukan rancangan undang-undang hanya pembatasan anggota DPD tidak ikut membahas dalam paripurna DPR.

Frasa 'ikut membahas' harus dalam frasa satu sampai akhir. Artinya anggota DPD hanya tidak ikut memutuskan dalam paripurna.

Terkait peningkatan peran dan kewenangan DPD, mengingikan peningkatkan kewenangan DPD dalam penyusunan undang-undang. Harus kita akui, bahwa kewenangan DPD tidak sebesar dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR.

Namun, bila UU-nya diatur secara maksimal akan menjadi lebih baik. Seperti ditingkatkannya peran dan wewenang DPD yang setara dengan DPR. Hal ini sebenarnya bisa terealisasi, jika segera mengagendakan perubahan kelima UUD 1945.

Sepertinya kita lupa di awal tadi, dimana yang membuat UU tersebut adalah orang partai, maka wajar saja. Nama juga orang partai semua tentu mau di ambilnya. Tapi bagaimana dengan nasib perseorangan yang tidak memiliki partai, seharusnya ini yang di pahami oleh DPR dan Pemerintah selaku yang mengesahkan UU.

Kemudian mari kita menganalisa aktivitas DPD sebagai senator. Sangat tidak masuk akal jika DPD digaji dari uang rakyat untuk mengurus daerah, jika sewaktu-waktu mereka lebih banyak ngurus partai, bagaimana dengan anggarannya seharusnya untuk mengurusi rakyat dan daerah.

*Bukan Untuk 2 Periode.
Ada yang menilai hal itu dilakukan untuk mendukung presiden yang lama, saya katakan sah-sah saja penilaian ini. Namun sepertinya pernyataan tersebut dapat dipatahkan jika melihat para legislatif dari oposisi tidak pernah mengarah kesana.

Hal ini diperkuat oleh ucapan Fadly Zon, politisi asal partai Gerindra yang getol mengkritik pemerintah. Bisa kita lansir sendiri di Web. Detiknews yang dirilis pada tanggal 26/4/2017.

Diketahui, ia menolak dan mengatakan aneh saat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu mengusulkan rekrutmen calon anggota DPD 2019 melalui panitia seleksi (pansel).

Wakil Ketua DPR tersebut mengatakan kepada Ketua Pansus Pemilu DPR Lukman Edy. Usulan dari pemerintah itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan atas dasar apa pansel nantinya akan memilih anggota DPD.

Tapi faktanya, afiliasi anggota DPD kepada parpol memang sulit dihindari. Namun, bukan berarti infiltrasi parpol di DPD dibiarkan begitu saja. Sehingga berbondong-bondongnya anggota DPD menjadi kader salah satu parpol tetap tidak bisa dielakkan.


*Pandangan Pengamat.
Kini kita ketahui tugas DPD bertambah berat, mereka akan melakukan pemantauan dan evaluasi atas RUU Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah demi melakukan percepatan pembangunan daerah di segala lini. Untuk itu mari kita lihat pandangan pengamat terkait DPD dari parpol.

Komite Pemantau Legislatif Syamsudin Alimsyah mengatakan jika bergabungnya anggota DPD ke parpol tak ubahnya pengkhianatan amanat rakyat. Menurutnya, padahal hanya DPD satu-satunya ruang representasi independen di parlemen.

"Ini adalah bentuk sarana kepentingan publik untuk kepentingan golongan. Dan bentuk pelanggaran etika politik yang sangat nyata," tegas Syamsudin.

Lebih tegasnya lagi, keluar dari ucapan Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donald Fariz. "Ini bukan soal anggota DPD masuk partai apa tidak. Tapi soal perkara demokrasi, ini harus sehat. Anggota DPD bukan representasi dari parpol tapi representasi wilayah."


0 komentar: