Bila engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka Menulislah. [Imam Al Ghazali]

Iman Menentukan Jodoh ; Menukil Kisah Cinta Ali dan Fatimah

Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran, akan tetapi sekaligus juga asal dari segala kebenaran. Sehingga ke benaran mutlak milik Tuhan dan lahirlah penyebutan Allah Maha Benar. Dimana setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan Yang Maha Esa.


Kini, segala kebenarannya masih terdapat keraguan pada kita yang belum mampu memahami risalah-Nya. Salah satunya mengenai pasangan kita masa mendatang yang sering kali disebut "jodoh".

Siapa yang tidak khawatir dengan jodohnya, penulis tentu juga demikian. Bahkan bisa jadi lebih hebat dari pembaca. Sampai semua sepakat, bahwa jodoh adalah pilihan atau takdir adalah pertanyaan yang paling banyak dibahas hingga ke ulu hati.

Sebagai muslim, saya pastikan kita tidak akan sulit jika kita ingin memahami jodoh. Bukan merasa paling mengerti tapi hanya kembali mengingatkan selagi tangan ini masih mampu menari-nari di setiap lembaran hidup ini.

Jika mau, kita akan temukan narasi yang pantas untuk dijadikan acuan hidup. Allah telah membocorkan persoalan tentang jodoh ini kepada kita melalui ayat Al-Qur’an Surat An Nur ayat 26.

Artinya :
Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang, baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. (Qs. An Nur:26)

Jika melihat dari potongan ayat Al-Qur’an diatas dapat dikatakan bahwa laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Sedangkan laki-laki yang tidak baik juga untuk wanita yang tidak baik. Sungguh merupakan sebuah rahasia yang sebenarnya sudah lama terungkap jika kita mau mengkaji agama kita lebih dalam.

Hemat saya, jodoh merupakan hal telah tertulis di Lauh Mahfudz, namun kita bisa memilih dengan siapakah kita akan nanti berjodoh. Tentunya pengaruh akhlaq dan sikap kita di dunia akan menentukannya.

Mengenai jodoh mari kita liat sejarah perjodohan yang paling indah dalam dunia islam. Yakni cinta Ali dan Fatimah yang luar biasa, terjaga kerahasiaannya dalam sikap, ekspresi, dan kata, hingga akhirnya Allah menyatukan mereka dalam suatu pernikahan. Konon saking rahasianya, setan saja tidak tahu menahu soal cinta di antara mereka. Masya Allah.

Ali terpesona pada Fatimah sejak lama, disebabkan oleh kesantunan, ibadah, kecekatan kerja, dan paras putri kesayangan Rasulullah SAW itu. Ia pernah terpojok dua kali saat Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab melamar Fatimah sementara dirinya belum siap untuk melakukannya.

Namun kesabarannya berbuah manis, lamaran kedua orang sahabat yang tak diragukan lagi kesholehan-nya tersebut ternyata ditolak Rasulullah SAW. Akhirnya Ali memberanikan diri. Dan ternyata lamarannya kepada Fatimah yang hanya bermodal baju besi diterima.

Di sisi lain, Fatimah ternyata telah memendam cintanya kepada Ali sejak lama. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah kedua menikah, Fatimah berkata kepada Ali: “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu.

Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya.” Ali pun bertanya mengapa ia tetap mau menikah dengannya dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya. Sambil tersenyum Fathimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu.” Masya Allah

Demikian sejarah perjodohan islam yang patut kita ditiru dan contohi dalam dunia modern ini meski amat sulit untuk melakukannya. Paling tidak dalam soal "iman" berarti percaya kepada-Nya dan "Islam" sebagai sikap menyerahkan diri apa yang ia berikan dengan tak lupa senantiasa mengabdi kepada Allah SWT.

Pernah Rasul berkata saat ditanya sahabat mengenai makhluk Allah yang paling menakjubkan. Bukan Nabi bukan juga sahabat, jawabnya. Karena Nabi tentulah beriman sebab mereka menerima wahyu-Nya dan sahabat menyaksikan mukjizat dan hidup bersama Rasulullah.

Maka jawab Rasulullah yang menggetarkan hati umat islam adalah “Kaum yang hidup sesudah kalian." Maksudnya adalah umat yang lahir setelah para sahabat rasul sudah tidak hidup lagi atau manusia yang hidup pada masa yang akan datang.

“Mereka membenarkan aku, padahal mereka tidak pernah menyaksikan aku. Mereka menemukan tulisan dan beriman. Mereka mengamalkan apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membelaku, seperti kalian membelaku. Alangkah inginnya aku bertemu dengan mereka!”

Meluruskan Niat di Hari Fitrah

Saya beserta keluarga
Terang berganti gelap pertanda malam 1 syawal akan menyapa kita semua. Cahaya rembulan silih berganti menerangi bumi setelah 12 jam lamanya sinar surya menyinari alam semesta. Tidak lama kita bersama menunggu penetapan Hari Kemenangan yang agung oleh Pak Luqman Hakim, Menteri Agama Indonesia. Ini semua berkat ilmu falak yang telah biasa kita ketahui melalui pengamatan yang akurat bersama ahlinya dengan dukungan ilmu tafsir ulama kontemporer.

Di kesunyian ini pula saat malam takbir berubah menjadi malam suntuk. Untung ataukah rekaan mereka ketika piala dunia menemaniku yang enggan keluar melihat pawai takbir demi merayakan kemenangan. Sudah lupakan saja, toh nanti penemuan terpenting akan membuktikan memonopoli islam pada gelaran akbar di kota Putin tersebut.

Ingin diluapkan perasaan selama ini yang mengusik qalbu di atas kasur yang cukup gersang ini. Maklum, jarang sekali aku memperdulikan kasur yang memang bukan kebiasaanku seperti orang Eropa disiplinnya mereka saat bangun pagi.

Kembali soal qalbu, tempat keberadaan dua kutub yang berlawanan. Istilah populernya positif dan negatif. Bercengkrama dalam memperebutkan diri ini antara taqwa dan nafsu. Kini setelah dianalisis dari narasi-narasi baik pada mubaligh medsos ternama. Bahwa untuk beberapa tahun belakangan ku dapati diri ini masih kotor dari gemerlapnya kehidupan dunia. Jauh dari shiratal mustaqim.

Timbul pertanyaan, telah berapa lama diri ini terjebak dalam buaian fana ? Entahlah, sudah berlumuran dosa hingga maksiat kelima panca indera pun banyak ku rasa. Tentu seumur hidup kesadaran ini tidak pernah totalitas terwujud meski terkadang terlintas. Maha baik Allah yang tidak sampai hati melihat dosa hambanya bagaikan luka di depan mata. Maka, nikmat mana lagi yang ingin engkau dustakan ??

Alhamdulillah, sambil menulis aku mengingat beberapa tulisan yang pernah aku baca dan membuat iman ini sedikit lebih baik dari sebelumnya. "Kejarlah akhirat, maka dunia akan mengikutimu. Bukan malah sebaliknya." Kurang lebih seperti itu tulisan yang sering kali berada pada pojok atas dan bawah lembaran buku motivasi islam.

Kemudian, terlepas dari ini semua. Aku berfikir sesuatu yang baru tersadari merupakan petunjuk-Nya yang mesti diikuti, sebab asalnya dari upaya ku terdahulu. Tapi juga muncul pilihan baru, alih-alih ini disebabkan oleh doa-doa orang sekeliling yang menyayangi terlebih orang tua yang merindukan kesholehan anaknya ? Dan atau pula memang takdir dimana kondisi dan situasi yang memungkinkan ini terjadi tanpa sebab akibat.

Tidak ada tempat berpegang selain menunggu hari tibalah saatnya untuk bertaubat. Itulah gambaran pada saat ini.

Sesekali ku berkhayal kemaren itu ialah jebakan batman, maksiat tersebut adalah pelor ampuhnya, rekaannya soal tipu daya, ya siapa lagi kalau bukan musuh abadi manusia. Yang berjanji kepada Tuhan senantiasa setiap masa akan menggangu Adam dan keturunannya hingga hari kiamat. Syaiton, iblis, hantu apapun namanya adalah musuh kita sesungguhnya. Maka tak heran para penceramah khotbah jumat selalu mengingatkan serta mengulang-ulang untuk mengatasi hal tersebut dengan cara menundukkan nafsu lalu mengangkat taqwa manusia itu sendiri.

Agar kelak diri ini dan kita semua bukan bagian dari orang-orang yang merugi dengan kelalaian masa selama di dunia. Karena, walau tak seberapa yang ku pahami ilmu agama namun aku pernah membaca bahwa tanda akhir zaman adalah mereka yang telah jarang di ingatkan akan Dajal dan kemunculannya. 

Sehinggalah cara ini dianggap bagian dari muhasabah klaim ku sendiri, metode introspek diri selama menjalani hidup sebelum dan sesaat ramadhan tiba.

Kini tibalah waktunya, menyiapkan keyakinan -iman- yang tinggi dan besar kepada-Nya melalui dzikir malam. Memperjuangkan ilmu untuk mengkonsepkan kehidupan secara benar mengunakan daya fikir yang jernih, bersih lagi kuat guna memahami risalah-Nya serta memanifestasikan usaha melalui implementasi -amal sholeh- dari dua sumber iman dan ilmu yang telah diraih selama ini agar barokahnya hidup diterima di sisi-Nya.

Luruskan niat yang paling terbaik, niat yang pantas dengan usia kini dalam menyongsong hari yang kebetulan dinantikan oleh umat islam seluruh dunia. Yakni esok, dimana pagi di ufuk timur sang surya akan hadir menyapa di Hari Kemenangan. Untuk kesekian kalinya aku tidak ingin mengulangi kembali, ramadhan yang aku lalui tanpa memiliki visi yang jelas dan harapan besar ku selalu meraih ampunan dan keberkahan dari Allah SWT serta menjadi golongan Rasul-Nya.

Amin. Ya rabbal Alamin.
Mohon maaf lahir dan batin.

Tidak Pernah Mikir Uang


Kita tentu saja dapat banyak belajar dari seorang Gus Dur. Keteguhannya mencintai bangsa ini, membela mereka yang terpinggirkan tentu tak usah diragukan lagi.

Aspek yang sering dilupakan adalah bagaimana kemampuan Gus Dur dalam membaca dan mengkaji beragam perspektif keilmuan. Membaca sebanyak-banyaknya buku yang tentu saja akan membuka kekayaan perspektif dalam memandang persoalan.

Keluwesan berpikirnya didukung oleh tradisi kuatnya membaca beragam buku. Ketika mahasiswa ia tak pernah memikirkan berapa uang yang yang ia miliki. Ia selalu memiliki uang yang cukup.

Apalagi ia sudah menjadi salah satu kolumnis yang karyanya tersebar di berbagi media. Ia juga sudah aktif bekerja untuk kedutaan ataupun lembaga lainnya yang memanfaatkan kemampuan berbahasa arabnya yang sangat bagus.

Seperti yang dikisahkan oleh Barton, yang ada di benak Gus Dur adalah bagaimana ia memiliki uang untuk membeli buku dan menonton film. Lucunya, untuk mengelola keuangan ia serahkan kepada sahabat karibnya, Mahfudz Ridwan, mahasiswa asal Salatiga.

Bahkan uang tersebut kadang digunakan Mahfudz untuk membantu mahasiwa lain yang kekurangan dana. Ia tak pernah memperdulikan uang, baginya yang penting ketika hendak membeli buku uang tersebut harus ada.

Gus Dur juga menunjukan kepada kita betapa ia memiliki pikiran terbuka dan ide-ide besar karena gemarnya ia melahap segala jenis bacaan. Seperti tokoh pendiri bangsa, Gus Dur sangat haus terhadap bahan bacaan.

Catatan menarik diungkap Najwa Shihab dalam tulisannya di Kompas (18/8), Menikam Kolonialisme dan Merdeka dengan Buku.

Pada salah satu bagian ia menulis bahwa para tokoh bangsa merupakan orang-orang dengan pikiran terbuka dengan kepala penuh ide-ide besar yang membaca karya-karya besar dari berbagai belahan dunia.

Sumber : NU Online

Addin Jauharuddin ; Merawat Pergerakan


Sekecil apapun peristiwa apalagi sejarah organisasi, itu harus ditulis. Siapa yang mampu menulis sejarahnya, dia tidak akan lekang dan sirna dimakan zaman, sejarahnya akan terus menjadi warisan berharga bagi generasi berikutnya dan mewarnai kehidupan bangsa.

Sejarah PMII adalah sejarah pergulatan tentang pemikiran keislaman, keindonesiaan dan kemasyarakatan sekaligus sejarah gerakan politik mahasiswa Indonesia

Tema yang penulis suguhkan adalah buah dari renungan dan refleksi mendalam perjalanan PMII selama ini. Bahwa hal terbesar yang dilakukan PMII selama ini adalah belajar merawat secara terus menerus pergerakan dengan berbagai dinamikanya sekaligus merajut berbagai komponen sosial dan kampus untuk memperkuat keindonesiaan kita. Merawat adalah belajar dengan sungguh-sungguh.

Sementara merajut adalah kemampuan memimpin untuk mengkonsolidasikan semua jejaring republik ini, karena kita sadar potensi keragaman bangsa ini sungguh luar biasa. Jika salah kelola akan menjadi bencana.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia {PMII} adalah organisasi kemahasiswaan yang kini berumur 53 Tahun. Umur yang menegaskan bahwa PMII lahir, tumbuh dan berkembang telah menjadi bagian dari sejarah bangsa yang tidak bisa di pisahkan, dan sekaligus telah menjadi anak kandung republik.

Didirikan 13 orang dari latar belakang kampus dan cabang yang berbeda-beda dan saat ini telah memiliki 227cabang dan 25 Pengurus Koordinator Cabang se Indonesia. Lahir dari rahim NU pada tanggal 17 April 1960, telah membuat organisasi ini melekat dengan tradisi ke NU-an dan kebangsaan, hingga pada tanggal 14 Juli 1972 tercetuslah Deklarasi Murnajati yang menegaskan independensi PMII dan merupakan tonggak sejarah baru bagi pergerakan PMII.

Perubahan yang cukup menonjol pasca deklarasi independensi adalah adanya perubahan paradigma dari sekedar konsolidasi ke NU-an ke fase pengembangan dan pendistribusian kader-kader profesional ke berbagai ruang strategis dengan pola pikir lebih terbuka. Rekruitmen kampus juga semakin beragam termasuk sumber daya manusianya.

Hal yang menonjol dalam ruang gerak PMII adalah adanya pergolakan pemikiran yang tak pernah selesai, yaitu pemikiran-pemikiran alternatif baik itu berasal dari pengalaman pergerakan negara-negara lain maupun hasil mendalam kajian internal PMII, sehingga telah membuat PMII menjadi Teks yang terus hidup di perdebatkan bahkan tak jarang di anggap “anak Nakal”.

Keberaniannya yang berusaha mendekonstruksi pemikiran tentang keagamaan telah menjadi rujukan banyak kelompok di indonesia dan mampu menyegarkan kembali pemikiran keagamaan yang ada. Sebelum reformasi bergulir, pergulatan kader-kader PMII banyak tersebar di ranah pemikiran alternatif melalui jejaring kelompok studi, akademisi, LSM, juga kelompok gerakan yang intens melakukan advokasi rakyat dan mengobarkan aksi-aksi perlawanan. Kini reformasi telah bergulir, tentu paradigmanya pun berubah, kini tantangan kita terbesar adalah menyiapkan sumber daya unggulan untuk menguasai the leading sector.

Salah satu yang membuat PMII tetap bertahan hingga kini adalah karena adanya seperangkat nilai dan gagasan yang telah terbentuk dan terpatri sejak lama. PMII di bentuk dengan landasan keislaman dan kebangsaan yang keduanya tidak bisa dipisahkan atau disebut dengan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah {ASWAJA}. Selain itu adalah Nilai Dasar Pergerakan {NDP} yang menekankan aspek ketuhanan {Hablumminallah}, kemanusiaan {Hablummimannas} dan kelestarian alam semesta {hablumminal’alam}, dan secara praksis di topang oleh paradigma pergerakan yang menekankan cara pandang kritis, konstruktif dan visioner. Dengan adanya landasan pembentuk PMII, lalu seperti apakah cita-cita ideal pergerakan? Cita-cita idelal pergerakan adalah mencetak kader-kader ulul albab' dan terlibat dalam visi besar bangsa ini.

Selain nilai yang melandasi PMII, dapat dilihat juga citra diri PMII melalui ketiga format profil yang selama ini menjadi karakter dan wajah organisasi ; Pertama, Dzikir, Pikir dan Amal Shaleh. Kedua, Taqwa, Intelektualitas dan Profesionalitas dan Ketiga, Kejujuran, Kebenaran dan keadilan. Jika kita melihat dari ketiga format profil PMII, maka akan terlihat bahwa ruang gerak dan pemikiran PMII tidak bisa dilepaskan dari aspek ilahiyyah {ketuhanan}, dimana islam menjadi agama, inspirasi dan pandangan hidup yang kemudian menjadi landasan teologis pergerakan.

Pengetahuan menjadi sumber gerak kedua PMII yang notabene basis utamanya adalah kampus. Antara agama, dan pengetahuan tentunya harus dibarengi dengan amal sholeh yang memegang teguh prinsip kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kader PMII lahir dan berkembang mempunyai beban sejarah untuk menjadi kader paripurna {Ulul Albab} ; sebagai penjaga dan pengamal agama, mencetak kader dan pemimpin yang selaras antara kata dan perbuatan dan menyiapkan kader yang mempunyai kompetensi dan daya saing selaras dengan perkembangan zaman.

Kini setelah usia PMII ke 53 tahun banyak hal yang harus di revitalisasi, redefinisi, reaktualisasi dan reposisi. Keterlibatan PMII dalam berbagai gerakan pemikiran dan aksi-aksi kebangsaan baik itu sendiri maupun dilakukan bersama kelompok Cipayung, merupakan penegasan akan kontribusi organisasi terhadap pembangunan nasional.

Di luar itu, PMII menata kembali format gerakannya dalam tiga hal ; pertama, format gerakan pengembangan kampus dan mahasiswa. Munculnya masalah-masalah yang muncul di kampus harus direspon dengan cepat, diantaranya ; massifnya hedonisme, tumbuh suburnya radikalisme agama, turunnya peningkatan prestasi akademik dan minimnya alternatif gagasan dan pemikiran. kedua, format gerakan keagamaan yang menjadi spirit dasar PMII.

Masalah yang muncul ; maraknya radikalisme dan konflik kekerasan atas nama agama, ketiga, format gerakan kebangsaan, dengan munculnya ; hilangnya integritas, moralitas dan minimnya kapasitas para pemimpin bangsa, mencuatnya kasus-kasus korupsi, banyaknya konstitusi dan produk turunannya yang sangat liberal membuat bangsa ini tersandera dan tergadai secara sistem, lunturnya ideologi bangsa dan bahasa nasional serta pembangunan yang belum merata dan terintegrasi dengan baik. Tentu ketiganya membutuhkan respon cepat dari PMII bersama gerakan mahasiswa lainnya

Dalam rangka menjawab persoalan diatas tadi, ada beberapa hal telah dan sedang dilakukan oleh PB PMII; pertama, Meningkatkan kapasitas pendidikan para kader dan pengembangan potensi akademik, kedua, memeratakan kegiatan dakwah di kampus-kampus serta memperbanyak dialog lintas agama, ketiga, merespon setiap isu strategis nasional dan lokal serta keempat, terlibat dalam penyelesaian masalah regional ASEAN dengan akan dilaksanakannya pertemuan ASEAN YOUTH ASSEMBLY pada media Juni mendatang.

Sebagai catatan penutup, bahwa PMII lahir dan berkembang bukan sebagai organisasi di persimpangan jalan, yang kebingungan dengan sikap kiri dan kanan. Tetapi PMII lahir dengan identitas yang jelas, sebagai jangkar perubahan sosial bagi masa depan bangsa. Perubahan adalah nyata dan akan terjadi pada setiap waktu. Oleh karena itu ditengah perubahan performa berbagai macam organisasi, dari mulai organisasi negara, sampai dunia usaha, maka PMII pun perlu berbenah diri dengan melakukan restrukturisasi, redefinisi nilai dan reaktualisasi strategi pengembangan PMII.

Keberadaannya bersama organisasi Kemahasiswaan lainnya sangat dibutuhkan bagi bangsa ini sebagai penguat idelogi bangsa di tengah gempuran berbagai idelogi asing, sekaligus mengoreksi negara. Keberadaanya memberikan manfaat bagi pemberdayaan masyarakat, dan jalan lurus bernegara.

(Sumber: Okezoon.Com, 18 April 2013)
Tulisan Addin Jauharuddin, Ketua Umun PB PMII 2011-2013 dengan judul asli 57 Tahun PMII ; Merawat Pergerakan, Memperkokoh Republik

Membaca Dinamika Perubahan Nasional


Sejak 1998 Indonesia mengalami satu perubahan besar. Perubahan ini menyangkut sejumlah hal : reformasi kelembagaan, reformasi ekonomi, dan transformasi masyarakat secara luas.

Pertama, reformasi kelembagaan di tingkat Negara yang berhasil menggusur pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik ke bentuk pemerintahan yang mencerminkan hubungan pusat dan daerah yang bersifat desentralistik dan memberi ruang bagi otonomi daerah yang lebih luas. Bersamaan dengan itu pula tumbuh lembaga-lembaga baru yang berfungsi melakukan pengawasan kekuasaan, seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lainnya.

Lembaga-lembaga baru ini menjalankan fungsi-fungsi yang spesifik, namun secara umum ditujukan untuk merespon tuntutan masyarakat akan kebebasan (berpendapat, berkumpul dan berserikat), demokratisasi, dan pengelolaan sistem pemerintah yang dilandasi oleh prinsip-prinsip good governance seperti transparansi, akuntabilitas dan rule of law. Perubahan ini juga mencakup kebebasan pers yang memungkinkan tumbuhnya banyak media massa cetak maupun elektronik (online) yang membawa konsekuensi-konsekuensi besar baik negatif maupun positif.

Kedua, reformasi ekonomi. Krisis moneter 1997-1998 yang menyebabkan kebangkrutan ekonomi yang luar biasa, membuat pemerintah RI terjerat utang yang menumpuk dan terpaksa patuh pada lembaga-lembaga donor dan lembaga keuangan internasional untuk melakukan reformasi kebijakan ekonomi. Akibatnya, sejumlah perundang-undangan yang direkayasa dan disusun dibawah tekanan lembaga￾lembaga donor itu mendorong pemerintah untuk meliberalisasi perdagangan dan privatisasi pengelolaan sumberdaya ekonomi di sektor-sektor strategis seperti Migas, Minerba, dan lainnya. Dalam hal ini kita kalah dalam "strategi" : lewat aturan perundang-undangan, dan SDM kalah.

Berbeda dengan strategi Cina yang menyekolahkan dulu SDM dipersiapkan untuk mengelola SDA sendiri. Terjerat pinjaman utang yang bukannya tanpa syarat itu, pemerintah RI berhasil didikte untuk mengubah “space of law”, seperti UU Migas, UU Minerba,dan lain-lain yang pada akhirnya membuka “space of place” (ruang wilayah) seperti megaproyek MP3EI dan eksploitasi sumber-sumber daya alam strategis yang dimiliki rakyat.

Oleh karena itu, meskipun negara ini mampu keluar dari krisis, semua "kemajuan” diukur dari pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%) harus dibayar dengan hilangnya aset-aset strategis negara, melemahnya kemandirian pengelolaan sumberdaya alam, dan pertumbuhan ekonomi yang tak menyentuh sektor-sektor ekonomi riil masyarakat. Reformasi ekonomi harus diakui cenderung dinikmati oleh sekelompok elit belaka, baik elit lama maupun elit baru yang berhasil merapat atau memeroleh sokongan dan membentuk oligarki politik-ekonomi baru.

Gejala perubahan besar yang ketiga adalah transformasi kemasyarakatan dan kebudayaan yang begitu cepat dan bisa dianggap "liar” yang entah itu berkaitan langsung ataukah tidak langsung secara
struktural dan institusional dengan dua perubahan besar di atas.

Di ranah ini, sikap pragmatis, hedonis dan konsumeri menjadi gaya hidup utama kehidupan sehari-hari. Arus globalisasi yang diterima tanpa filter (sebagai alat/sarana sekaligus nilai) telah mengkooptasi kesadaran sosial yang membuat selera pasar bukan hanya menjadi penanda status sosial seseorang, tetapi menjadi tempat perburuan kenikmatan yang tanpa ujung, tanpa jeda, dan tanpa mempertanyakan cara apapun bisa ditempuh (termasuk suap dan korupsi).

Praktek menghalalkan segala cara (budaya instan) bukan hanya dikatalisasi oleh globalisasi produk-produk budaya, nilai dan gaya hidup, tetapi juga kesempatan yang tersedia dan kebutuhan akan identitas atau prestise pada masyarakat transisi yang salah satunya ditandai oleh mobilitas vertikal yang sangat cepat.

Mobilitas mendadak ini melahirkan culture shock yang menggunakan semangat “aji mumpung” untuk meraih dambaan material sebesar-besarnya sebagai pelampiasan dendam kemiskinan masa lalu. Sementara bagi mereka yang sudah mapan membutuhkan sabuk pengaman (safety belt) untuk melestarikan kenyamanan baik setelah mereka pensiun maupun untuk kelangsungan anak cucu.

Transformasi kebudayaan ini mencakup sikap-sikap materialisme dimana kekayaan material menjadi satu-satunya ukuran kesuksesan. Simbol-simbol material dan prestise yang bersifat artifisial dikejar lewat jalan pintas dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, termasuk merampas ruang publik (media, pendidikan) dan mencuri hak-hak publik (korupsi pajak, perampasan tanah, dan sumber daya alam).

Tanpa suatu counter-culture yang memadai, konsumsi budaya material semacam ini ikut menjerat masyarakat dan kita ke dalam budaya pasar dan mendorong masuk ke dalam suatu prilaku anarkis baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di tengah situasi masyarakat yang prihatin, konsumerisme dan hasrat mengejar prestise yang artifisial semacam itu adalah pertunjukan kekuasaan atau sejenis ketamakan yang diam-diam dipamerkan. Di lain tempat atau di ruang politik, korupsi dan money￾politics dalam proses-proses pemilu adalah sejenis penghinaan terhadap rakyat.

Dalam situasi yang akumulatif seperti ini kita menemukan ironisme. Demokrasi memang berkembang secara prosedural, tapi nilai￾nilai dan kearifan lokal masyarakat justeru merosot. Pemilu digelar secara rutin dan agen-agen politisi baru menempati lembaga-lembaga penentu kebijakan. Tapi justru di situlah agen-agen mediokratik ini menikmati hak-hak demokrasi tanpa memproduksi nilai-nilai kepublikan. Elit politik dengan mudah mengisi ruang demokrasi itu dengan persengkongkolan bisnis-politik untuk kepetingan menjarah negara baik sumber-sumber ekonominya maupun nilai-nilai dasar kepublikan politiknya.

Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa setelah lebih dari satu dekade umur reformasi Indonesia belum benar-benar keluar dari krisis. Demokrasi menjadi kemerosotan nilai, kebebasan bergeser menjadi anarki.

Gejala-gejala krisis ini paling tidak mengambil bentuk hal-hal berikut ini:

  • Gejala 1: Korupsi dan suap menjadi praktek sosial
  • Gejala 2: Produk Perundang-undangan yang merugikan rakyat
  • Gejala 3: Merosotnya kebajikan bersama (common good) dan kesukarelaan
  • Gejala 4: Intoleransi dan Kekerasan
  • Gejala 5: Media Massa sebagai alat propaganda ekonomi, politik dan budaya
  • Gejala 6: Ekstrimisme agama



Sumber : Buku Panduan Kaderisasi Nasional

Perspektif Kepimpinan Dalam Organisasi


Setiap oganisasi memiliki kebutuhan gaya kepemimpinannya sendiri. Tidak bisa disamaratakan begitu saja. Lebih populernya "Setiap Masa Ada Orangnya, Setiap Orang Ada Masanya". Mengisyaratkan kita memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk melakukan aktifitas yang berkualitas dan produktivitas

Kesalahan dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan dalam organisasi akan beresiko. Organisasi tidak berjalan efisien atau bahkan tujuan tidak tercapai. Kepemimpinan memiliki prinsip umum, namun figur pemimpin ideal perlu dipandang menjadi lebih kontekstual sesuai dengan lingkungan dimana dia berada.

Kepemimpinan yang ideal diharapkan mampu memuaskan anggota dan publik. Kini, pada aspek keorganisasian telah banyak di beberapa forum, seminar, dan diskusi yang berkembang mengupas secara tajam arti kepemimpinan dalam organisasi. Hanya saja memang, menjadi perhatian luas terfokus kepemimpinan masih pada pemimpin ranah politik.

Akibatnya pemimpin ada kecenderungan digambarkan orang yang lihai berorasi, berpidato, bercitra di atas panggung. Padahal kita mungkin bukan hidup di lingkungan politik saja.

Ada kalanya kita mencontohi gaya Rasullullah SAW dalam memimpin umatnya. Hanya sedikit yang ingin paparkannya disini. Yaitu, kelihaian beliau ketika sukses menjadi seorang pengembala kambing.

Hikmahnya, Rasulullullah mudah mengatur manusia kelak saat menjadi seorang nabi. Dan perlu diketahui pula, hampir semua rasul/nabi melakukan hal yang sama menjadi pengembala domba/kambing.

Sejalan dengan konsep Rasulullullah. Bapak Pendidikan Indonesia juga memberikan sebuah ajaran yang sangat masyur dalam dunia pendidikan nusantara. Yakni Tut Wuri Handayani, merupakan salah satu dari tiga prinsip filosofi kepemimpinan yang di ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Semboyannya tersebut dituliskan dalam bahasa Jawa yang aslinya "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."

Sejak diresmikan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 6 September 2017, No 0398/M/1977 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013.

Pencantuman semboyan ini merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara dalam upaya melaksanakan sistem pendidikan indonesia.

Sungguh konsep lokal yang memiliki perspektif global. Tokoh dunia sekaliber Nelson Mandela saja, seakan mengadopsi filsafat Ki Hajar Dewantara. Dalam otobiografinya, ia mengungkapkan :

“It is better to lead from behind and to put others in front, especially when you celebrate victory when nice things occur. You take the front line when there is danger. Then people will appreciate your leadership.”

Memang pada akhirnya, para pemimpin yang berada di barisan belakang harus bisa menerima konsekuensi bahwa dirinya bisa tidak mendapatkan kredit apa-apa dari capaian tersebut. Pemimpin di belakang punya resiko tidak terlihat eksistensinya.

Melihat peta politik indonesia saat ini yang berdasarkan study empiris terhadap organisasi yang telah saya lalui belakangan ini. Bahwa pemimpin bukan hanya selalu ada di depan, namun di semua sisi termasuk memimpin dari sisi paling belakang.

Di situasi politik bangsa menuju Pilpres 2019, hadir beragam serangan dengan formasinya yang unik bin ajaib. Di dukung teknologi yang mempuni membuat pertarungan menjadi hangat dan penuh hiruk pikuk.

Lalu, muncul pertanyaan untuk para organisatoris yang kelak akan menjadi politikus. Sanggupkah kita menjadi orang seperti itu yang kita sebut negarawan ?

Masih adakah pemimpin bangsa yang rela berada di belakang dengan tetap memiliki komitmen teguh memajukan bangsa tanpa berambisi menonjolkan ego diri selalu ingin di depan/berkuasa?

Refleksi Hari Lahir Pancasila 2018


Karya tulis yang aslinya berjudul 'Meneguhkan Teologi Keislaman-Keindonesian di Era Kebangkitan Agama' dari seorang bernama Hakimil Ikhwan ini layak dijadikan bahan referensi kita sebagai manusia yang taat beragama islam di bumi pancasila.

Berikut tulisan beliau ;

Era ini disebut sebagai era kebangkitan agama. Agama, yg semula diprediksi oleh banyak ilmuan sosial akan mengalami kebangkrutan seiring dengan perkembangan modernisasi dan industrialisasi, ternyata justru tampil menjadi elemen yang maha penting. Agama—simbol, ajaran, lembaga—hadir dan merasuk kedalam semua sendi kehidupan masyarakat abad 21.

Bahkan, generasi Milenial yang paling terpapar teknologi informasi dan komunikasi digital menjadi agen utama yang memunculkan narasi-narasi agama di ruang publik. Seorang aktivis Muslim yg sudah sangat senior mengatakan bahwa para mahasiswa di kampus hari ini lebih khusyuk sholatnya dibandingkan para aktivis pada zamannya. Group Sabyan, yang terdiri para seniman usia sangat muda, dengan sangat fasih menyanyikan Deen Assalam yang menggema di mana-mana, warung makan, super Mall, dan cafe. Dan, Dodi Hidayatullah yang sangat apik mengubah Despacito—yang dianggap moral-less dan dilarang di Malaysia karena alasan tersebut—menjadi lagu yang sangat sarat simbolisme dan ajaran Islam. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, kelompok muda melahirkan gelombang pengikut ISIS di Eropa. Mereka secara diam-diam dan terorganisir berhasil menyeberang batas-batas territorial Negara-negara untuk bergabung menjadi pasukan militer ISIS.

Telah menjadi tanda-tanda zaman bahwa ghirah ke-Islaman—juga ke-Kristenan, ke-Budha-an, ke-Yahudian—semakin meningkat. Di kalangan umat Islam, meluas kesadaran untuk menjadi Muslim yang kaffah. Muslim yang seutuhnya. Di kalangan professional, untuk menjadi Muslim seutuhnya mereka memutuskan untuk tidak menggunakan bank konvensional dan beralih ke bank sharia. Di kalangan muda terdidik, tidak sedikit mereka yang dengan kesadaran penuh memilih jalan hidup berdagang. Jenis pekerjaan ini, dalam pandangan mereka, adalah jenis pekerjaan yang paling disukai Nabi Muhammad. Tidak sedikit juga mereka yang ‘berhijrah’ keluar dari lembaga-lembaga pemerintah, sebagai abdi Negara, atau karyawan swasta untuk meraih kehidupan yang ‘lebih berkah.’ Maka, label ‘halal’ menjadi rujukan utama masyarakat Muslim hari ini dalam membeli produk. Label halal tidak hanya berlaku untuk produk makanan, minuman, dan kosmetik tetapi juga produk-produk lain seperti kulkas dan jilbab.

Ghirah umat Islam untuk menjadi Muslim yang kaffah juga ditunjukan dengan gelombang besar travel umrah dan haji. Saat ini, salah satu bisnis yang digemari adalah travel haji dan umrah karena pasarnya yang selalu tinggi, apalagi di musim-musim tertentu seperti Ramadhan dan Tahun Baru. Skandal First Travel dan Abu Tour sepertinya tidak mempengaruhi bisnis ini. Agen travel berlomba memikat jamaah, baik melalui penawaran harga tiket murah atau kerjasama dengan artis selebriti, atau ustadz selebriti.

Menutup aurat sudah menjadi hal yang biasa dan terlalu mainstream di kalangan Muslimah. Oleh karenanya, proses hijrah untuk menjadi Muslimah yang kaffah terus bergerak ke kanan melalui komunitas Hijabers, bahkan sekarang berkembang Niqobers. Kalau sebelumnya para niqobers tidak pernah memposting foto atau selfie, Niqobers zaman now menggunakan media sosial, dengn posting foto, modifikasi niqob, sembari tetap sharing tausiyah.

Sayangnya, keinginan yang kuat untuk menjadi Muslim yang kaffah seringkali berbenturan dengan keharusan menjadi manusia Indonesia yang kaffah. Keharusan menjadi warga Negara yang kaffah. Dalam derajat yang ekstrim, menjadi Muslim yang kaffah ditandai dengan keinginan untuk berhukum dengan hukum Allah. Hukum selain Allah dianggap sesat. Kekuasaan selain Allah adalah adalah thoghut.

Umat Islam Indonesia hari ini dihadapkan pada persoalan serius mempertemukan kembali spirit ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Pertanyaannya, bisakah menjadi Muslim yang kaffah sekaligus juga menjadi warga Indonesia yang kaffah, yang baik, yang Pancasilais?

Setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing. Tidak terkecuali generasi kita. Tantangan generasi ini tidak lebih mudah dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Tetapi juga tidak lebih sulit dari generasi sebelumnya.

Sesungguhnya, kalau kita memahami Islam dan berbagai ekspresi ke-Islaman dalam beragam bentuk pemahaman doktrin, ayat dan teks, serta praktek-praktek ke-Islaman, maka kita akan menemukan kenyataan bahwa Islam tidaklah tunggal. Islam hadir dan diekspresikan dalam beragam interpreasi paham keagamaan, teks dan doktrin, bahkan praktek-praktek keseharian yang berbeda-berbeda, antara komunitas, masyarakat, negara dan bangsa, bahkan antar-periode zaman.

Sejak era paling awal sekali dalam sejarah Islam, telah terjadi perpecahan pemahaman keagamaan terhadap text dan ilmu kalam. Ini melahirkan perbedaan kelompok pandangan teologis, misalnya, antara As’ariay dan Mu’tazilah, Qodariyah dan Jabariyah, serta maturudiyah. Dalam perdebatan ilmu kalam, atau ilmu tauhid, terjadi perdebatan apakah Al-Quran adalah kholiq atau makhluq? Fakta-fakta sejarah ini menghadirkan kepada kita bahwa dalam hal-hal fundamental, teologis, Islam tidaklah satu. Ada banyak pandangan teologis yang berbeda.

Jika dalam hal teologis saja Islam tidak tunggal apalagi dalam hal-hal ibadah dan mu’amalah. Dalam hal sholat, misalnya, kita memaklumi ada banyak sekali yang perbedaan mulai dari bacaan sholat antara “wajjahtu wajhiya” dan “allahumma baa’id baini,” “sedekap tangan,” dan lain-lain. Tata cara berwudhu pun berbeda-beda antara para imam mazhab.

Singkat kata, dari lima rukun Islam, yang tunggal dan fix adalah mengucapkan kalimat “laa ilaha illallah, muhammadur rasulullah.” Selebihnya terjadi perbedaan.

Jika dalam ibadah saja Islam hadir dalam beragam bentuk ekspresi, apalagi dalam hal mu’malah.

Kita dapat membedakan dari jilbab, atau tutup kepala Muslimah, mana yang Indonesia, Malaysia, Pakistan, atau Bangladesh. Bahkan, jubah yang dipakai oleh laki-laki Muslim bisa dibedakan antara Jubah Madinah atau Jubah Yaman.

Yang manakah yang Islam dan tidak Islam? Atau, lebih Islam dibandingkan yang lain? Dalam keberagaman tersebut kita menemukan kekayaan tradisi ke-Islaman. Tetapi, keberagamaan tersebut dapat menjadi bencana jika terjadi klaim bahwa yang satu lebih Islam dari yang lain.

Pertanyaan berikutnya, adakah tradisi atau praktek keagamaan Islam yang universal? Jawabnya, ada, yaitu dalam hal ucapan ‘kalimat tauhid,’ jumlah rakaat sholat wajib, puasa di Bulan Ramadhan, dan Haji pada bulan Haji. Tetapi, dalam prakteknya, sebagaimana disebutkan diatas, terjadi perbedaan dalam hal pelaksanaan sholat, puasa, dan haji.

Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan pertama, yaitu menjadi Muslim yang kaffah tidak bisa membuat kita terbebas, terlepas, dari partikularitas-partikularitas praktek-praktek keagamaan. Menjadi Muslim yang kaffah artinya mengamalkan ke-Islaman secara sungguh-sungguh dan konsisten di dalam garis metodologi ke-Islam-an tertentu yang tetap saja partikular. Menjadi Muslim yang kaffah artinya ber-Islam secara kaffah dalam versi metodologis tertentu, yang belum tentu lebih Islam dibandingkan versi metodologis yang lain.

Mengapa kesimpulan pertama tersebut sulit diterima—terutama di sebagian kalangan Muslism? Jawabnya, karena dalam mind-set umat Muslim Indonesia, bahkan dunia, keberagaman praktek keagamaan tersebut tidak hadir dalam ruang vacuum, melainkan dikonstruksikan dalam relasi kuasa (power relation). Dalam relasi kuasa inilah maka suatu praktek keagamaan tertentu asosiatif dengan entitas kelompok tertentu. Slametan asosiatif dengan praktek masyarakat Jawa atau Melayu. Haflah Tasyakuran asosiatif dengan masyarakat Arab. Gamelan identik dengan Jawa. Gambus identik dengan Timur Tengah.

Dalam relasi kuasa tersebut maka Slametan tidak bisa disetarakan dengan Haflah Tasyakuran. Gamelan tidak setara dengan Gambus. Karena, dalam relasi kuasa, Jawa dan Melayu tidak setara dengan Arab dan Timur Tengah. Relasi kuasa mengandaikan suatu entitas masyarakat atau golongan lebih memiliki kuasa, lebih mulia, dan terhormat, dibandingkan entitas masyarakat atau golongan lain. Konstruksi tersebut berlangsung dalam rentang sejarah yang panjang dan dilakukan oleh pihak-pihak yang ‘lebih berkuasa’ atau otoritatif. Konstruktsi tersebut dibangun dalam relasi kolonialistik.

Sudah sangat lama sekali dunia ini dibagi ke dalam dua kutub. Kutub Barat dan Kutub Timur. Pembagian ini diperlukan oleh pihak berkuasa—para kolonial—untuk membangun konstruksi identitas bahwa Barat (penguasa/kolonial) lebih berkuasa, lebih mulia, lebih terhormat, lebih beradab. Karena itu, kata Edwar Said, konstruksi Timur dan Barat bukan hanya soal pembagian dunia tetapi juga sekaligus instrumen penjajahan. Timur dan Barat sebagai konstruksi identitas yang melanggengkan penjajahan. Paling tidak, konstruksi tersebut untuk mengkonstruksi perbedaan ‘kuasa.’

Ketimpangan relasi kuasa tidak hanya terjadi dalam konstruksi Timur dan Barat dalam dunia global. Tetapi juga terjadi dalam pemilahan dunia Islam. Arab dan Timur Tengah menjadi representasi “Barat yang maju dan terhormat,” dan non-Arab (termasuk Melayu, Bangladesh, India Muslim, China Muslim, dsb) menjadi representasi “Timur yang ‘kelas dua’ dan kurang Islam.  Dalam ketimpangan relasi kuasa ini, maka yang “Timur (non-Arab)” berusaha menjadi “Barat (Arab)” dalam berbagai ekspresi keagamaan dan kebudayaan. Bahkan, tidak sedikit orang Timur (Non-Arab) berperilaku melebihi yang Barat (Arab). Maka, menjamurlah penggunaan jubah, turban, dan istilah-istilah Arab, termasuk lagu-lagu Arab.

Dengan demikian, kesimpulan kedua, preferensi praktek-pratek dan simbolisme keagamaan tertentu yang seolah lebih utama, mulia dan terhormat adalah akibat pengaruh cara pandangan kolonialistik yang melihat dunia dalam relasi relasi kuasa yang tidak setara. Suatu praktek dan ekspresi kebudayaan secara ontologis dan epistemologis tidaklah lebih mulia dari yang lain.

Spirit kenabian Muhammad SAW justru ingin menghancurkan cara pandang kolonialistik tersebut. Ketika saat itu, suku-suku Arab, termasuk Quraisy, merasa lebih mulia dari yang lain, maka cara pandang tersebut secara revolusioner dihancurkan oleh Nabi Muhammad dengan mengatakan “Laa Fadla Li Arabiyin ‘ala ‘Ajamiyin, wa laa kinnal fadhla bittaqwa.”

Dari dua argumentasi di atas, yaitu (1) menjadi Muslim yang kaffah tidak berarti terbebas dari partikularitas paham dan praktek keagamaan Islam,
dan (2) pengaruh relasi kuasa yang timpang membuat suatu praktek dan simbolisme lebih utama dan mulia, dan (3) spirit kenabian yang mendobrak rasisme dan chauvinisme materialistik, maka kita dapat membangun argumetnasi bahwa (4) tidak ada jurang pemisah antara ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

Untuk poin terakhir ini, saya ingin mengelaborasi rumusan Al-Quran, yang sekaligus basis teologis, untuk mempertemukan, atau mengawinkan, antara ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

Allah SWT berfirman dalam QS Ibrahim 24-26.
Artinya: “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit.”

“Kalimat toyyibah” dalam ayat tersebut dijelaskan oleh para ulama adalah kalimat tauhid atau seruan kepada keimanan kepada Allah SWT. Tetapi, secara umum, kalimat thoyyibah berarti kalimat yang baik, yaitu segala bentuk ajakan kepada kebaikan.

Ayat tersebut memberikan kriteria kalimah thayyibah, yaitu mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat. Memiliki kesadaran sosiologis, kesadaran akan konteks structural dan kultural dimana “kalimah toyyibah” tersebut disampaikan. Dalam hal ini maka pemahaman akan konteks (sosiologis/kekinian, dan historis/rentang waktu) menjadi sangat penting.

Ada banyak contoh, 'itibar, dari Al-Quran dan Sirah Nabawiyah yang menekankan pentingnya kesadaran kontekstual (sosiologis-historis). Misalnya, tidak ada hambatan bagi Allah untuk langsung memperjalankan Nabi Muhammad untuk bermiraj ke sidratul muntaha. Tetapi, karena perjalanan tersebut bukanlah perjalanan individual melainkan mengandung misi keumatan bagi umat manusia maka Nabi Muhammad diperjalankan dalam isra’ ke Baitul Maqdis untuk dapat diuji kebenarannya dalam nalar manusia. Tidak ada hambatan Allah untuk menjadikan Nabi Muhammad dari suku mana pun, tetapi karena dalam tradisi Arab saat itu terdapat stratifikasi suku, maka akan lebih mudah dan dapat diterima kenabian yang berasal dari suku Quraish yang terhormat. Bahkan, Nabi Muhammad pun harus berdarah-darah dalam peperangan, gigi beliau patah, karena dengan begitu maka legitimasi kepemimpinan beliau menjadi semakin kuat. Atau, Sayyidina Ali pada akhirnya kalah berperang melawan Mu’awiyah, bukan karena keimanan Ali kurang, atau lebih rendah dari Muawiyah. Juga bukan berarti keridhaan Allah atas Mu’awiyah lebih besar dari Ali. Kekalahan tersebut karena fakta dan realita sosial Mu’awiyah berasal dari suku yang jauh lebih besar, dengan pengikut bala tentara yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan suku dan para pengikut Sayyidina Ali.

Kesadaran sosiologis juga melekat didalamnya kesadaran historis. Karakteristik berpikir sosiologis adalah kesadaran historis, bahwa sesuatu terjadi tidak dengan sendirinya melainkan melalui proses rentang waktu yang panjang hasil dari pergulatan berbagai elemen sosial.

Ayat tersebut menggunakan kata “syajaroh” yang dalam bahasa Indonesia disebut pohon, tetapi juga bisa diterjemahkan sebagai ‘sejarah.’ Sejarah atau silsilah keluarga juga dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘syajaroh.’ Karenanya, misi tauhid harus memenuhi prasyarakat kesadaran akan sejarah, baik sejarah diri, keluarga, komunitas, masyarakat, dan bangsa.

Dengan perumpamaan “syajaroh” tadi maka ke-Iman-an menjadi “kokoh,” akarnya kokoh menghujam (ashluha tsaabit) dan cabang-cabang-nya, atau manfaat dan buah dari kebaikan tersebut menjulang tinggi (ke langit).

Sebaliknya, perkataan atau perbuatan yang buruk, yang tidak memiliki kesadaran sosiologis dan historis, seperti pohon yang buruk yang akarnya tercerabut dari tanah (permukaan bumi) dan tidak dapat tegak sedikit pun.

Perumpamaan umat yang tidak memiliki kesadaran sosiologis historis maka tidak tidak memiliki pegangan dan menjadi mudah terombang ambing dalam arus diskursus yang datang entah dari mana. Ketika agenda global anti terorisme, maka dia terombang dalam diskursus tersebut. Terbawa untuk menjadi bagian dari terorisme ATAU menjadi orang yang dihantui ketakutan oleh diskursus terorisme. Hal yang sama juga terjadi pada gelombang Anti-Ahmadiyah, Anti-Syiah, ISIS, dan sebagainya. Kesimpulannya, untuk tidak terombang-ambing, jadilah seperti pohon yang menghujam ke bumi. Menjadi seorang Muslim yang punya kesadaran sosiologis dan historis.

Selamat Hari Pancasila.
Selamat berikhtiar menjadi Muslim yang Kaffah, sekaligus warga Indonesia Pancasilais yang kaffah.f