Bila engkau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka Menulislah. [Imam Al Ghazali]
Home » » Perspektif Kepimpinan Dalam Organisasi

Perspektif Kepimpinan Dalam Organisasi


Setiap oganisasi memiliki kebutuhan gaya kepemimpinannya sendiri. Tidak bisa disamaratakan begitu saja. Lebih populernya "Setiap Masa Ada Orangnya, Setiap Orang Ada Masanya". Mengisyaratkan kita memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk melakukan aktifitas yang berkualitas dan produktivitas

Kesalahan dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan dalam organisasi akan beresiko. Organisasi tidak berjalan efisien atau bahkan tujuan tidak tercapai. Kepemimpinan memiliki prinsip umum, namun figur pemimpin ideal perlu dipandang menjadi lebih kontekstual sesuai dengan lingkungan dimana dia berada.

Kepemimpinan yang ideal diharapkan mampu memuaskan anggota dan publik. Kini, pada aspek keorganisasian telah banyak di beberapa forum, seminar, dan diskusi yang berkembang mengupas secara tajam arti kepemimpinan dalam organisasi. Hanya saja memang, menjadi perhatian luas terfokus kepemimpinan masih pada pemimpin ranah politik.

Akibatnya pemimpin ada kecenderungan digambarkan orang yang lihai berorasi, berpidato, bercitra di atas panggung. Padahal kita mungkin bukan hidup di lingkungan politik saja.

Ada kalanya kita mencontohi gaya Rasullullah SAW dalam memimpin umatnya. Hanya sedikit yang ingin paparkannya disini. Yaitu, kelihaian beliau ketika sukses menjadi seorang pengembala kambing.

Hikmahnya, Rasulullullah mudah mengatur manusia kelak saat menjadi seorang nabi. Dan perlu diketahui pula, hampir semua rasul/nabi melakukan hal yang sama menjadi pengembala domba/kambing.

Sejalan dengan konsep Rasulullullah. Bapak Pendidikan Indonesia juga memberikan sebuah ajaran yang sangat masyur dalam dunia pendidikan nusantara. Yakni Tut Wuri Handayani, merupakan salah satu dari tiga prinsip filosofi kepemimpinan yang di ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Semboyannya tersebut dituliskan dalam bahasa Jawa yang aslinya "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."

Sejak diresmikan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 6 September 2017, No 0398/M/1977 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013.

Pencantuman semboyan ini merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara dalam upaya melaksanakan sistem pendidikan indonesia.

Sungguh konsep lokal yang memiliki perspektif global. Tokoh dunia sekaliber Nelson Mandela saja, seakan mengadopsi filsafat Ki Hajar Dewantara. Dalam otobiografinya, ia mengungkapkan :

“It is better to lead from behind and to put others in front, especially when you celebrate victory when nice things occur. You take the front line when there is danger. Then people will appreciate your leadership.”

Memang pada akhirnya, para pemimpin yang berada di barisan belakang harus bisa menerima konsekuensi bahwa dirinya bisa tidak mendapatkan kredit apa-apa dari capaian tersebut. Pemimpin di belakang punya resiko tidak terlihat eksistensinya.

Melihat peta politik indonesia saat ini yang berdasarkan study empiris terhadap organisasi yang telah saya lalui belakangan ini. Bahwa pemimpin bukan hanya selalu ada di depan, namun di semua sisi termasuk memimpin dari sisi paling belakang.

Di situasi politik bangsa menuju Pilpres 2019, hadir beragam serangan dengan formasinya yang unik bin ajaib. Di dukung teknologi yang mempuni membuat pertarungan menjadi hangat dan penuh hiruk pikuk.

Lalu, muncul pertanyaan untuk para organisatoris yang kelak akan menjadi politikus. Sanggupkah kita menjadi orang seperti itu yang kita sebut negarawan ?

Masih adakah pemimpin bangsa yang rela berada di belakang dengan tetap memiliki komitmen teguh memajukan bangsa tanpa berambisi menonjolkan ego diri selalu ingin di depan/berkuasa?

0 komentar: